Sebentar lagi kita semua ummat Muslim akan melaksanakan salah satu ibadah yang termasuk dari pada rukun Islam yang ke-empat, yaitu Puasa Ramadhan, dan setelah kita selesai melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, kita langsung menyambut bulan kemenagan (Syawwal).
Begitu banyak perbedaan pendapat dalam menentukan kapan dimulainya Bulan Ramadhan dan kapan berakhirnya, sehingga terkadang berbeda pendapat pula dalam menentukan kapan mulainya Bulan Syawwal, sehingga terkadang ada yang mendahului puasa dan ada yang mengakhiri puasanya, begitu pula ketika menjelang Iedul Fithri. ada yang yang sudah merayakannya dan ada yang belum.
ada beberapa cara yang tepat dalam menentukan kapan dimulainya Ibadah Puasa dan Iedul Fithri, serta kapan berakhirnya, diantaranya :
1. Cara menentukan
Ibadah Puasa dan Iedul Fithri
Awal puasa ditentukan
dengan tiga perkara :
1. Ru’yah hilal
(melihat bulan sabit).
2. Persaksian atau
kabar tentang ru’yah hilal.
3. Menyempurnakan
bilangan hari bulan Sya’ban.
Tiga hal ini diambil
dari hadits-hadits dibawah ini :
1. Hadits dari Abi
Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan
berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan,
maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim
1081)
2. Hadits dari Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhuma :
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan
puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa
padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika
ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari
kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud
2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan
sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
3. Hadits dari ‘Adi bin
Hatim radhiallahu ‘anhu :
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila datang bulan Ramadhan, amka berpuasalah
30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam
Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan
lain-lain)
4. Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Puasalah karena
melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi
kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan
(ru’yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR.
An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid
bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian
keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum
Nabi, hal. 29)
Hadits-hadits semisal
itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah,
Hudzaifah dan lain-lain Radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan
riwayat-riwayat mereka serta takhtrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke 109.
Isi dan makna
hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri
ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari
seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita
adalah orang Islam yang adil, sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan
Daraquthni. Sama saja saksinya dua atau satu sebagaimana telah dinyatakan oleh
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata :
“Manusia sedang
melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan
manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871,
Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)
Catatan dari
hadits-hadits diatas (oleh saya/uli):
1. Penentuan hilal yang
disyari’atkan dalam agama ini cukup melihat bulan dengan mata telanjang.
2. Menentukan awal
masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan ilmu astronomi tidak
disyari’atkan dalam agama ini (bid’ah), perhatikan hadits-hadits seputar
penentuan hilal diatas.
3. Allah menjadikan
mudah agama ini, maka tidak perlu kita mempersulit diri.
2. Perbedaan Mathla’
(Tempat Muncul Hilal) dan Perselisihan Tentangnya
Hadits-hadits diatas
menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan
puasa adalah dengan ru’yah hilal, bukan dengan hisab. Dan konteks kalimatnya
kepada semua kaum muslimin bukan hanya kepada satu negeri atau kampung
tertentu. Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan
hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi :
“Kuraib mengabarkan
bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib
berkata : “Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan
tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal
pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu
Abbas bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal -- : ‘kapan kamu
melihat Hilal?’ Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau
bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku menjawab :’Ya,
orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia
berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan
tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup
bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?’ Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah
Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu
Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam
Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)
Dalam hadits Kuraib
diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat.
Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar
berkata : “Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :
Pendapat Pertama :
Setiap negeri mempunyai
ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim
Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan
tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat
ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.
Pendapat Kedua :
Apabila suatu negeri
melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur
dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’
telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah
tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia)
dan Andalus (negeri Spanyol).
Al-Qurthubi berkata
bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang
disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang,
maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa...
Sebagian pengikut
madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka
hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua :
1. Tidak wajib
mengikuti, menurut kebanyakan mereka
2. Wajib mengikuti. Hal
ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh
Al-Baghawi dari Syafi’i.
Sedangkan dalam
menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat :
1. Dengan perbedaan
mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam
Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
2. Dengan jarak
mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh
Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
3. Dengan perbedaan
iklim.
4. Pendapat As-Sarkhasi
: “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
5. Pendapat Ibnul
Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain...” berdalil
dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri
walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.
Imam Syaukani
menambahkan : “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah
yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau
bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam
Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”
Hujjah ucapan-ucapan
diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu
Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan
beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal
dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.
Adapun menurut jumhur
ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh
karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas
seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
,”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.”
Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka
melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka
semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)
As-Shan’ani
rahimahullah berkata, “Makna dari ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila
ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu
negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus
Salam 2/310)
Imam As-Syaukani
membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan
dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata : “Orang-orang yang menyatakan bahwa
ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan
pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan
jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz
dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar
shalat tidak berkaitan dengan hilal....
Apabila seseorang
menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh,
maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang
menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama
saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)
Shidiq Hasan Khan
berkata : “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri
harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang
jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka karena hilal”
(Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua
ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya,
jadilah ru’yah itu untuk semuanya ...” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).
Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabiq yang
mendukung pendapat yang mewajibkan ru’yah bagi setiap penduduk suatu negeri dan
penentuan jarak dan tanda-tandanya mengatakan : “... Saya –demi Allah- tidak
mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang
syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan
merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat
ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu
Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25, As-Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq
Hasan Khan di dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan
inilah yang benar. Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas
(hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani
rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits
Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya,
kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain
melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu
Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari
atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua
hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada
keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah hilal dari
negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang
ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104 ...(Tamamul Minnah,
hal. 397)
3. Bolehkah Ber -Iedul
Fithri Sendiri Menyelisihi Kaum Muslimin ?
Sekarang timbul
permasalahan yaitu seseorang yang melihat ru’yah sendirian secara jelas, apakah
dia harus beriedul fithri dan berpuasa sendiri atau bersama manusia ?
Dalam permasalahan ini
ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
Fatawa 25/114 :
Pendapat Pertama :
Wajib atasnya berpuasa
dan ber’iedul fithri secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.
Pendapat Kedua :
Dia harus berpuasa
tetapi tidak ber’iedul fithri kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini
masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi.
Pendapat Ketiga :
Dia berpuasa dan
ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena
sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya) : “Puasa kalian adalah
hari kalian berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian
berbuka (tidak berpuasa) dan Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR.
Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani
berkata : “Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah
Al-Hadits As-Shahihah 1/440)
Demikian keterangan
Syaikhul Islam.
Bertolak dari hadits
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya
Imam At-Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini : “Sebagian ahlu ilmi
(ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas
manusia.”
Imam As-Shan’ani
berkata : “Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama
manusia. Orang yang mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya
untuk mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam
shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha.” (Subulus Salam 2/72)
Ibnul Qayyim berkata :
“Dikatakan bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan terhadap orang yang
mengatakan bahwa barangsiapa mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan hisab,
boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka, berbeda dengan orang yang tidak tahu.
Juga dikatakan (makna yang terkandung dalam hadits itu) bahwa saksi satu orang
apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia
tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia tidak berpuasa.” (Tahdzibus Sunan
3/214)
Abul Hasan As-Sindi
setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dakam
Shahih Ibnu Majah : “Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan
untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap
diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal
sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib
atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu.”
Syaikh Al-Albani
menegaskan : “Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna
ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena
khawatir pada saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya
bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah.
Aisyah berkata : “Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri
adalah hari manusia berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)
Akan tetapi jika
seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia
melihat hilal, maka wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana
perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa 25/117.
Terkadang seorang Imam
meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian orang
yang adil, bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena
politik dan sebaginya dari alasan-alasan yang tidak syar’i, maka bagaimana
hukumnya ?
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam hal ini mengatakan : “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah
hukum tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama
saja dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang
masalah apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat
bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam : Mereka (para imam) shalat
bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka, dan jika
salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan
pelampauan batas adalah atas mereka bukan atas kaum muslimin yang tidak salah
dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206)
Jika timbul pertanyaan
bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan
sedangkan pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban ?
Dalam permasalahan ini,
Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul
Ahkam 1/139 sebagai berikut :
“Pendapat yang masyhur
dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut
beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya.
Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang ada
dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila
kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal
Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan
persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.
Sedangkan Imam Malik,
Syafi’I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu
itu, karena pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya.
Mereka berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan :
“Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah
bermaksiat kepada Abul Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” Pendapat inilah
pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya.
Ibnu Qudamah berkata
dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu
puasa tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan.
Inilah pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama).
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah menyatakan : “Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam
Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan
adalah mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang
wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang
disunnahkan adalah meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka
sunnah untuk berbuka itu lebih utama.”
Beliau (Ibnu Taimiyyah)
berkata dalam Al-Furu : “Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau
menegaskan wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas)
dinisbatkan kepadanya.”
Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan murid-murid beliau memilih larangan berpuasa (pada waktu itu).
Syaikh Muhammad bin
Hasan berkata : “Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab
Hambali dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan
dimakruhkan atau diharamkan.”
Syaikh Abdul Lathief
bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas)
mempunyai hujah hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar : “Tidak boleh puasa
pada waktu ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para
ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in beramal.”
Demikian penjelasan
Syaikh Ali Bassam.
Dari keterangan diatas
menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal
karena terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya
puasa. Oleh karena itu Imam As-Shan’ani menegaskan : “Ketahuilah bahwa hari
yang diragukan adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat
hilal pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa
jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan selainnya
menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam 2/308)
Kalau sudah jelas bahwa
hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa
sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati)
kecuali kalau hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan).
Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda : “Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua
hari, kecuali orang yang biasa berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka
puasalah.” (HR. Muslim)
Shilah bin Zufar dari
Amar berkata : “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia
telah bermaksiat kepada Abul Qasim Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Lihat
Shifatus Shaum Nabi Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan
dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28).
4. Hukum Hilal Yang
Diketahui Pada Akhir Siang
Dari Umair bin Anas bin
Malik dari pamannya dari kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara
datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri)
dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud,
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits
ke 1026).
Hadits ini sebagai
dalil bagi orang yang berkata bahwasanya sahalat Ied boleh dilakukan pada hari
kedua, apabila tidak jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya.
Pendapat ini adalah pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah,
Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’I, dll… Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa
shalat pada hari yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla.” Demikian
keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.
Imam As-Shan’ani
menyatakan : “hadits diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari
kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan jelas sesuadah keluar (habis) waktu
shalat.” (Subulus Salam 2/133)
Demikian keterangan
para ulama tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri
pada hari kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini
bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala
sedangkan makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu A’lam bis Shawab.
Penulis: Al Ustadz
Zuhair Syarif
Catatan :
Khusus hilal Iedhul
Adha sedikit berbeda, mengingat hari Ied baru tanggal 10 bulan Dzulhijjah, maka
tinggal dihitung sepuluh hari mendatang setelah hilal nampak.
(Dikutip dari Majalah
Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22, penulis Ustadz Zuhair Syarif).
Silahkan menyalin &
memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=265
Tidak ada komentar:
Posting Komentar