Sholat tarawih merupakan ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadhan, ibadah ini biasa dilakukan secara berjama'ah, adapun orang melakukan secara pribadi juga tidak apa- apa, ibadah ini memiliki nilai dimensi ibadah yang tinggi, sehingga semua Ummat muslim berbondong- bondong untuk melaksanakannya, apa saja hal- hal seputar shalat tarawih yang sekiranya perlu kita ketahui.
1. Pensyari'atannya
Shalat
tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu
'anha : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam keluar
dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka
memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika
beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi,
hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah
Shallalalhu 'alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid
tidak mampu menampung jama'ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan
shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat
kemudian bersabda (yang artinya) : “ Amma ba'du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan
kalian semalam, namun aku khavatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian
tidak mampu mengamalkannya". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara
berjama'ah" [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]
Ketika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti
keterangan hadits diatas) maka berarti syari'at ini telah tetap, maka shalat
tarawih berjama'ah disyari'atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan
‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya 'illat itu berputar bersama ma'lulnya,
adanya atau tidak adanya.
Dan
yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa'ur Rasyidin Umar bin
Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh
Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy[1] beliau berkata : "Aku keluar bersama
Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke
masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok[2] Ada yang shalat sendirian
dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata : "Aku berpendapat kalau mereka
dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik". Kemudian beliau
mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab, setelah itu
aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam
mereka, Umar-pun berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini, orang yang tidur
lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal
malam".[Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik
1/114, Abdurrazaq 7733]
2.
Jumlah raka'atnya
Manusia
berbeda pendapat tentang batasan raka'atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah delapan raka'at tanpa witir
berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha (yang artinya) : “ Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya
lebih dari sebelas raka'at" [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736
Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]
Yang
telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau
menyebutkan, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghidupkan malam
Ramadhan bersama manusia delapan raka'at kemudian witir [Dikeluarkan oleh Ibnu
Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr
(Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.]
Ketika
Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia
dengan sebelas raka'at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang
diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin
Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : "Umar bin Al-Khaththab menyuruh
Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas
raka'at". Ia berkata : "Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga
kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak
pulang kecuali ketika furu' fajar" [Furu' fajar : awalnya, permulaan].
Riwayat
beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : "Dua
puluh raka'at".
Riwayat
Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin
Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan
ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada
perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang
pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul
Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah seandainya riwayat Yazid
tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah
perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah
ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Abdur
Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari
Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : "Bahwa Umar mengumpulkan manusia
di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka'at, membaca dua ratus ayat,
selesai ketika awal fajar"
Riwayat
ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib
bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian
orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat
Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh
raka'at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan
mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan
dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau
lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa
menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]
Namun
syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena
riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan. Kami
ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat
(cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena hadits tersebut
mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :
1.
Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya
adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari.
2.
Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan
Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
3.
Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh
tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
4.
Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan
seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181]
5.
Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia
banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul
ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya
dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]
Dari
keterangan di atas maka jelaslah bahwa riw`yat ini mungkar, Ad-Dabari dalam
meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang
menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk
tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka'at (menggantinya
menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak
berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I'tidal 1/181]
Oleh
karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa
dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di
dalam Al-Muwatha' 1/115 dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib
bin Yazid. Perhatikanlah.[3]
Footnote:
[1]
Dengan tanwin ('abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa dimudhofkan-
lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir.
[2]Berkelompok-kelompok
tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa' ibil ... dan seterusnya
[3]Dan
tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah
a.
Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali
Hasan Abdul Hamid
b.
Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali
Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar
Penulis:
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami
Judul
Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah
Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah
Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar