Dalam kegiatan berpuasa, ada orang yang mampu melaksanakan puasa dikala ia sedang dalam keadaan sukar, akan tetapi bagaimana jika kita tidak mampu melaksanakannya, lantas bagaimana seorang muslim menyikapi hal tersebut supaya tidak salah mengambil sikap.
Ada beberapa hal yang memperbolehkan kita untuk menunda puasa Ramadhan, akan tetapi kelapangan dan kemudahan ketika kita sedang melaksanakan puasa Ramadhan itu, jangan dimanfaatkan atau dijadikan alasan bagi kita untuk menundanya, selama kita mampu , ya kita laksanakan, kalau tidak Rukshoh (Keringan) bagi orang yang mengalaminya.
hal- hal yang bersifat Rukshoh (Keringan) itu diantaranya adalah :
1. Musafir
Banyak hadits shahih
membolehkan musafir untuk tidak puasa, kita tidak lupa bahwa rahmat ini
disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia, Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang berfirman (yang artinya) : “Dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185].
Hamzah bin Amr
Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?" -dia banyak melakukan
safar- maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) :
“Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau" [Hadits Riwayat
Bukhari 4/156 dan Muslim 1121].
Dari Anas bin Malik
Radhiyallahu 'anhu berkata : "Aku pernah melakukan safar bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yang puasa
tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa"
[Hadits Riwayat Bukhari 4/163 dan Muslim 1118].
Hadits-hadits ini
menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin
kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdhal adalah berbuka berdasarkan
hadits-hadits yang umum, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
(yang artinya) :
“Sesungguhnya Allah menyukai didatanginya rukhsah yang diberikan, sebagaimana
Dia membenci orang yang melakukan maksiat" [Hadits Riwayat Ahmad 2/108,
Ibnu Hibban 2742 dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih].
Dalam riwayat lain
disebutkan (yang artinya) : “Sebagaimana Allah menyukai diamalkannya
perkara-perkara yang diwajibkan" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban 364,
Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas dengan sanad
yang Shahih. Dalam hadits -dengan dua lafadz ini- ada pembicaraan yang panjang,
namun bukan di sini tempat menjelaskannya].
Tetapi mungkin hal ini
dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam mengqadha' dan menunaikannya,
agar rukhshah tersebut tidak melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan
dengan gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu.
"Para sahabat
berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa (maka) itu baik
(baginya), dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu baik
(baginya)" [Hadits Riwayat Tirmidzi 713, Al-Baghawi 1763 dari Abu Said,
sanadnya Shahih walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi, riwayat Abul A'la
darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijili
dan lainnya.]
Ketahuilah saudaraku
seiman -mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta
memberikan rizki berupa pemahaman agama- sesungguhnya puasa dalam safar, jika
memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tetapi berbuka lebih
utama dan lebih dicintai Allah. Yang mejelaskan masalah ini adalah riwayat dari
beberapa orang sahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bersabda (yang artinya) : “Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam
safar" [Hadits Riwayat Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir].
Peringatan :
Sebagian orang ada yang
menyangka bahwa pada zaman kita sekarang ini tidak diperbolehkan berbuka,
sehingga (berakibat ada yang) mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut,
atau berpendapat bahwa puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana
transportasi saat ini. Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka
kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata (yang artinya)
: “Dan tidaklah Tuhanmu lupa" [Maryam : 64].
Dan juga firman-Nya
"Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui" [Al-Baqarah : 232]
Dan firman-Nya di
tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar (yang artinya) : “Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu"
[Al-Baqarah : 185]
Yakni, kemudahan bagi
orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan
syari'at. cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyari'atkan agama ini adalah pencipta
zaman, tempat dan manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang
bermanfaat bagi mereka. Allah berfirman (yang artinya) : “Apakah Allah Yang
Menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan) ; dan Dia
Maha Halus lagi Maha Mengetahui ?" [Al-Mulk : 14].
Aku bawakan masalah ini
agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu
perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia, bahkan Allah memuji
hamba-hamba-Nya yang mukmin yang tidak mendahulukan perkataan manusia di atas
perkataan Allah dan Rasul-Nya (yang artinya) : “Kami dengar dan kami taat,
(Mereka berdo'a) : "Ampunilah kami yang Tuhan kami dan kepada Engkau-lah
tempat kembali" [Al-Baqarah : 285]
2. Sakit
Allah membolehkan orang
yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, dan kemudahan bagi orang yang
sakit tersebut. Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang apabila dibawa
berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin parah penyakitnya
atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu a'alam
3. Haid dan nifas
Ahlul ilmi telah
bersepakat bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan berpuasa, keduanya
harus berbuka dan mengqadha, kalaupun keduanya puasa (maka puasanya) tidak sah.
Akan datang penjelasannya, Insya Allah…
4. Kakek dan nenek yang
sudah lanjut usia
Ibnu Abbas Radhiyallahu
'anhuma berkata : "Kakek dan nenek yang lanjut usia, yang tidak mampu
puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin" [Hadits Riwayat
Bukhari 4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul bari 8/180. Nailul Authar 4/315.
Irwaul Ghalil 4/22-25. Ibnul Mundzir menukil dalam Al-Ijma' no. 129 akan adanya
ijma (kesepakatan) dalam masalah ini].
Diriwayatkan oleh
Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari
Ibnu Abbas, beliau membaca ayat (yang artinya) : “Orang-orang yang tidak mampu
puasa harus mengeluarkan fidyah makan bagi orang miskin" [Al-Baqarah :
184].
Kemudian beliau berkata
: "Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan kemudian berbuka, harus
memberi makan seorang miskin setiap harinya 1/2 gantang gandum" [Lihat
ta'liq sebelumnya].
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu : "Barangsiapa yang mencapai usia lanjut dan tidak
mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap harinya satu mud gandum"
[Hadits Riwayat Daruquthni 2/208 dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih dia
dhaif, tapi punya syahid (penguat, red)].
Dari Anas bin Malik
(bahwa) beliau lemah (tidak mampu untuk puasa) pada satu tahun, kemudian beliau
membuat satu wadah Tsarid dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga
mereka kenyang. [Hadits Riwayat Daruquthni 2/207, sanadnya shahih]
5. Wanita hamil dan
menyusui
Di antara rahmat Allah
yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah adalah Allah memberi rukhsah
(keringanan) pada mereka untuk berbuka, dan diantara mereka adalah wanita hamil
dan menyusui.
Dari Anas bin Malik
[1], ia berkata : "Kudanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
aku temukan beliau sedang makan pagi, beliau bersabda, "Mendekatlah, aku
akan ceritakan kepadamu tentang masalah puasa. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa
Ta'ala menggugurkan 1/2 shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang
hamil dan menyusui kewajiban puasa". Demi Allah, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satunya. Aduhai
sesalnya jiwaku, kenapa aku tidak (mau) makan makanan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam" [Hadits Riwayat Tirmidzi 715, Nasa'i 4/180, Abu Daud 3408, Ibnu
Majah 16687. Sanadnya hasan (baik, red) sebagaimana pernyataan Tirmidzi]
Footnote :
[1]. Dia adalah
Al-Ka'bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshari pembantu Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, tapi ia adalah seorang pria dari bani Abdullah bin Ka'ab,
pernah tinggal di Bashrah, beliau hanya meriwayatkan satu hadits saja dari
Nabi, yakni hadits di atas.
Penulis: Syaikh Salim
bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh
(Judul Asli : Shifat
shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim
bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al
Islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah
Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar