Senin, 14 November 2011

BAB III STUDI ORIENTALIS TERHADAP SEJARAH TEKS AL-QUR'AN

1. AI-Qur'an

Menurut Jeffery, tidak ada yang istimewa mengenai sejarah Al-Qur'an. Dalam pandangan Jeffery, sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan masyarakat (the action of comrnunity). Menurut Jeffery, fenomena seperti itu umum terjadi di dalam komunitas lintas agama.

Dalam pandangan Jeffery, sikap-sikap awal kaum Muslimin tersebut seperti itu paralel sekali dengan sikap masing-masing pusat-pusat utama gereja terdahulu yang menetapkan sendiri beragam variasi teks untuk Perjanjian Baru. Teks Per¬janjian Baru memiliki berbagai versi seperti teks Alexandria (Alexandrian text), teks Netral (Neutral text), teks Barat (Western text), dan teks Kaisarea (Caesarean text). Masing¬masing teks tersebut memiliki varian bacaan tersendiri.

2. Al-Qur'an pada Zaman Rasulullah saw.

Salah seorang orientalis yang termasuk paling awal me¬nyatakan bahwa Muhammad tidak punya niat untuk meng¬himpun materi wahyu adalah Aloys Sprenger (1813-1893). Menurut Sprenger dan Hartwig Hirshfeld (m. 1934), Muhammad sebagai penyampai Al-¬Qur'an untuk orang yang buta huruf bukan untuk ditulis di atas kertas.

Regis Blachere berpendapat tidak ada alasan formal untuk mempercayai Muhammad secara pribadi telah terus menetapkan mushaf dari wahyu. Daniel A Madigan, menyatakan makna kitab di dalam Al-¬Qur'an bukan merujuk kepada sebuah mushaf ataupun buku. kitab Al-Qur'an bukanlah sebuah buku yang umumnya diterima dengan makna mushaf tertutup. Ia lebih merupakan simbol dari sebuah proses keterlibatan Tuhan dan manusia yang berterusan-keterlibatan yang kaya dan beragam. Madigan menolak jika kata kitab di dalam Al-Qur'an di¬terjemahkan sebagai buku (book). Menurutnya, terjemahan yang lebih tepat adalah tulisan (writing). Maksudnya, tulisan sebagai sebuah proses ketimbang sebagai sebuah produk ¬kitab lebih sebagai verbal noun dibanding concrete noun.

3. AI-Qur'an pada Zaman Abu Bakr dan `Umar

Leone Caentani (m. 1935). selama 20 tahun menulis sepuluh jilid buku mengenai Islam. Di dalam karya ter¬sebut, Caentani menolak hadits yang menyatakan bahwa Al¬-Qur'an pertama kali dihimpun pada zaman Abu Bakr. Dalam pandangan Caentani, haditstersebut bertujuan untuk menjus¬tifikasi tindakan `Utsman menghimpun Al-Qur'an.

Friedrich Schwally (m. 1919), menolak riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Al-Qur'an telah dihimpun pada zaman Khalifah Abu Bakr. Alasannya: (1) hadits yang mengkaitkan Al-Qur'an dihimpun dengan banyaknya para Qurra' mening¬gal di dalam perang Yamamah sebenarnya palsu karena dua faktor. Pertama, para Qurra' yang meninggal pada perang tersebut sangat sedikit sekali. Kedua, keterkaitan antara dihim¬punnya Al-Qur'an dengan banyaknya para Qurra' yang meninggal dalam perang Yamamah tidak logis. Alasannya, ketika Muhammad hidup, Al-Qur'an telah ditulis secara bertahap. Oleh sebab itu, tidak tepat menjadikan kematian para Qurra' sebagai alasan untuk menghimpun Al-Qur'an; (2) Terdapat perbedaan riwayat. (3) Jika Al-Qur'an yang dihimpun oleh Abu Bakr dan diwariskan kepada `Umar merupakan edisi resmi, maka terdapat kontradiksi.

Jeffery berpendapat bahwa teks yang dihimpun pada zaman Abu Bakr bukanlah teks revisi resmi (an official recension of the text). Jeffery menyatakan bahwa mushaf¬ mushaf lain banyak yang beredar. Diantaranya, Salim ibn Mu`qib, `Ali ibn Abi Talib, Anas ibn Malik, Abu Musa al¬ Ash`ari, Ubayy ibn Ka`b dan `Abdullah ibn Mas`ud. Jeffery meragukan jika Abu Bakr memang menghimpun mushaf karena terdapat perbedaan tahun, kapan perang Yamamah sebenarnya terjadi. Jeffery sebenarnya ingin menyatakan sulit dipercaya ketika menjadi khalifah, Abu Bakr dalam waktu yang terlalu singkat mampu menghimpun Al-Qur'an ke dalam suatu mushaf. Padahal tugas tersebut sangat berat.

Richard Bell menunjukkan memang teks yang dikumpulkan atas perintah Abu Bakr itu adalah teks pribadi bukan teks revisi resmi. Argumentasinya sebagai berikut:

Pertama, sampai wafatnya Muhammad, tidak ada rekaman wahyu yang otoritatif dan tersusun. Padahal, Muhammad sendiri telah mengumpulkan dan menyusun banyak lembaran ¬lembaran dan susunan tersebut diketahui oleh para sahabat. Kedua, Berdasarkan kepada sejumlah hadits yang berbeda, tidak ada kesepakatan mengenai siapa sebenarnya yang menggagas untuk menghimpun Al-Qur'an; `Umar atau Abu Bakr.

Ketiga, motif menghimpun Al-Qur'an disebabkan banyaknya para Qurra' yang meninggal dalam perang Yamamah tidaklah tepat. Keempat, seandainya koleksi itu adalah resmi, niscaya koleksi tersebut akan disebarkan karena memiliki otoritas. Namun bukti seperti itu tidak ada. Mushaf yang lain juga dianggap otoritatif di berbagai daerah. Perdebatan yang men¬dorong versi Al-Qur'an di bawah kekhalifahan `Utsman tidak akan muncul jika mushaf resmi di dalam kekhalifahan Abu Bakr ada. Mushaf resmi tersebut pasti akan menjadi rujukan. Selain itu, pendapat `Umar yang menyatakan bahwa ayat al-¬rajm ada di dalam Al-Qur'an adalah tidak konsisten jika `Umar memiliki mushaf resmi. Kelima, seandainya Zayd menghimpun mushaf yang resmi, maka `Umar tidak akan menyerahkan teks tersebut kepada Hafsah, anaknya.

Bell menyimpulkan ‘himpunan.' lengkap Al-Qur'an yang resmi pada kekhalifahan Abu Bakr tidak ada. Bell yakin hadits mengenai Al-Qur'an dihimpun pada masa kekhalifah¬an Abu Bakr dielaborasi hanya untuk menghindari supaya `himpunan' Al-Qur'an yang pertama kali bukanlah fakta yang muncul belakangan.

Dibawah ini akan dikemukakan berbagai argumentasi untuk menolak pendapat para orientalis.

1. Menolak kompilasi Abu Bakr dengan alasan terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan sebenarnya perang Yamamah berkecamuk tidak tepat. Ibn Kathir berpendapat bahwa perang tersebut ber¬mula pada tahun 11 H dan berakhir pada tahun 12 H. Jadi, terdapat waktu paling sedikit beberapa bulan untuk menghimpun Al-Qur'an. Jadi, Fakta Al-Qur'an telah di¬himpun pada zaman Abu Bakr memang terjadi, bukan sebuah rekayasa.

2. Al-Qur'an sudah ditulis oleh para sahabat. Tulisan ter¬sebut menyebar di berbagai tempat. Namun, belum dihim¬pun dalam sebuah mushaf. Kekhawatiran Bell bahwa para sahabat tidak ada yang menghafal keseluruhan AI-Qur'an karena tersebarnya tulisan yang berimplikasi kepada mun¬culnya varian yang sangat banyak, tidak beralasan. Ini disebabkan Al-Qur'an bukan hanya ditulis, namun juga dihafal. Tulisan yang tersebar bukan bermakna akan menyebabkan terjadi variasi, karena Rasulullah saw menyuruh berhati-hati untuk menulis Al-Qur'an.

3. Hadith-hadits yang menyatakan apakah Abu Bakr atau `Umar yang menggagas pertama

kali mengenai kodifikasi Al-Qur'an tidaklah bisa dijadikan alasan untuk menolak adanya kodifikasi Al-Qur'an pada zaman Abu Bakr. Hadits-hadits tersebut sama sekali tidak menafikan kodi¬fikasi pada zaman Abu Bakr.

4. Pendapat Schwally yang menyatakan bahwa hanya 2 orang dari Qurra' yang meninggal pada perang Yamamah sangat tidak logis. Yang pasti, jumlah para Qurra' yang meninggal banyak. Menurut Bukhari: "`Umar mengatakan bahwa kerusakan sangat besar diantara para Qurra' pada hari peperangan Yama¬mah."

5. Abu Bakr menyerahkan Suhuf tersebut kepada `Umar, pengganti khalifah. Ini menunjukkan bahwa mushaf ter¬sebut bukanlah pribadi. `Umar menyerahkannya kepada Hafsah karena kekhalifahan pada saat itu belum lagi ter¬bentuk. `Umar terlebih dahulu meninggal karena dibunuh. Mungkin `Umar menyerahkannya kepada Hafsah berban¬ding `Abdullah ibn `Umar besar kemungkinan karena Hafsah adalah istri Rasulullah saw. Dan fakta ini justru lebih tepat untuk ditafsirkan bahwa mushaf tersebut bukanlah kepunyaan keluarga `Umar.

6. Zayd ibn Thabit juga dibantu oleh para sahabat yang lain.

7. Mushaf yang dihimpun oleh Abu Bakr memang belum mengikat. Ini disebabkan motivasi menghimpun mushaf tersebut karena para Qurra' banyak yang meninggal, bukan tajamnya perbedaan qira'ah sebagaimana kelak ter¬jadi pada zaman 'Utsman.

8. Ketika `Utsman menyuruh menghimpun Al-Qur'an, `Utsman menggunakan mushaf yang di tangan Hafsah. Ini menunjukkan Abu Bakr memang mengkompilasi Al¬-Qur'an. Adapun, bahwa mushaf yang di tangan Hafsah tidak sepenuhnya mewakili Al-Qur'an bukanlah isu pen¬ting bagi kaum Muslimin. Sebabnya, kaum Muslimin me¬yakini kebenaran yang ada pada Mushaf `Utsmani, bukan Mushaf Abu Bakr.

4. Mushaf-Mushaf Pra-`Utsmani

Jeffery memperkenalkan istilah baru, yaitu mushaf¬ mushaf tandingan (rival codices). Menurut Jeffery, terdapat 15 mushaf primer dan 13 mushaf sekunder. Menurut Jeffery, banyaknya Mushaf pra-`Utsmani menunjukkan bahwa pilihan `Utsman terhadap tradisi teks Medinah tidak berarti pilihan terbaik. Jeffery mengedit manuskrip Kitab al¬ Masahif, karya Ibn Abi Da'ud Sulaiman al-Sijistani (m. 316/ 928). Jeffery juga menggunakan ber¬bagai buku tafsir, bahasa, adab dan qira'ah untuk merekon¬struksi mushaf-mushaf tandingan. Seandainyapun, mushaf-mushaf tersebut dianggap menan¬dingi Mushaf `Utsmani, maka sebenarnya mushaf-mushaf tandingan tersebut memiliki berbagai masalah. Oleh sebab itu, mushaf-mushaf tersebut tidak sederajat dengan Mushaf `Utsmani.

Jeffery mengutip pendapat yang menyebutkan Ibn Mas`ud menolak menyerahkan mushafnya ketika `Utsman mengirim teks standart ke Kufah dan memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar. Ibnu Mas`ud marah karena teks standart tersebut diprioritaskan. Padahal teks tersebut disusun oleh Zayd ibn Thabit yang jauh lebih muda. Ketika Ibn Mas`ud sudah menjadi Muslim, Zayd masih berada dalam pelukan orang-orang kafir.

Mengomentari tidak dimasukkannya Ibn Mas`ud sebagai tim kodifikasi, Ibn Hajar al-`Asqalani berpendapat saat pembentukan tim kodifikasi, Ibn Mas`ud tidak berada di Kufah. Padahal, ketika itu `Utsman sangat terdesak untuk membentuk tim koditikasi di Medinah.

Kritikan Jeffery yang lain adalah mengeluarkan al-Fatihah dari Al-Qur'an. Al-Fatihah baginya bukanlah bagian daripada Al-Qur'an, ia adalah do`a yang diletakkan di depan dan dibaca sebelum membaca Al-Qur'an, sebagaimana kitab-kitab suci yang lain. Namun pendapat Jeffery sangat lemah. Al-Fatihah adalah surah di dalam Al-Qur'an yang paling sering dibaca dan bagian yang integral dari setiap rakaah.

Jeffery berpendapat `Abdullah ibn Mas`ud menganggap surah al-Nas dan al-Falaq tidak termasuk di dalam Al-Qur'an. Selain itu juga, Jeffery sendiri mengakui terdapat dua versi yang berbeda mengenai Mushaf Ibn Mas`ud.

Argumentasi Jeffery sendiri sudah mengungkapkan masih terdapat banyak masalah untuk membuktikan otentisitas Mushaf Ibn Mas`ud itu sendiri. Karena itu, tidaklah tepat un¬tuk menganggap bahwa Mushaf Ibn Mas`ud rival apalagi sederajat dengan Mushaf 'Utsmani. Selain itu, seandainya Surah al-Nas dan al-Falaq bukan bagian dari Al-Qur'an, niscaya banyak riwayat akan muncul yang membenarkan fakta tersebut. Namun riwayat tersebut ti¬dak ada. Oleh sebab itu, maka Mushaf Ibn Mas`ud tidak bisa di¬jadikan tolak ukur untuk menolak kesahihan Mushaf `Utsmani.

Mengenai Mushaf Ubayy ibn Ka`b, Jeffery berpendapat Mushaf Ubayy memiliki banyak persamaan dengan Mushaf Ibn Mas`ud dan mengandungi dua ekstra surah: al-Hafd dan al-khala

Mengenai Mushaf `Ali ibn `Abi Talib, Jeffery sendiri me¬ngakui wujudnya perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa Mushaf `Ali disusun menurut kronologis, ada pula yang berpendapat bahwa surah-surah di dalam Mushaf `Ali disusun menjadi tujuh kelompok.


5. Al-Qur'an pada Zaman 'Utsman

Menurut Jeffery, sebe¬narnya terdapat beragam mushaf yang beredar di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Mushaf-mushaf tersebut berbeda dengan Mushaf 'Utsman. Jadi, ketika Mushaf `Utsmani dijadikan satu teks standart yang resmi dan digunakan di seluruh wilayah kekuasaan Islam, maka kanonisasi tersebut tidak terlepas dari alasan-alasan politis (political reasons).

Selain tuduhan motif politis berada disebalik kodifikasi, Jeffery juga berpendapat bahwa para Qurra' (`Ibadites) sangat menentang kebijakan standardisasi Mushaf `Utsmani. Jeffery berpendapat kaum Muslimin di Kufah terbagi dua faksi. Faksi yang menerima teks Mushaf `Utsmani dan faksi yang menggunakan Mushaf Abdullah ibn Mas`ud serta menolak Mushaf `Utsmani. Jeffery mengabaikan fakta sejarah bahwa para sahabat saat itu menerima dengan senang hati keputusan `Utsman untuk melakukan standardisasi. Selain itu, Jeffery sama sekali tidak mengidentifikasi siapa yang dimaksud dengan Ibadites itu.

Mengenai sikap `Abdullah ibn Mas`ud terhadap Mushaf `Utsmani, Jeffery menyebutkan Ibn Mas`ud menolak menye¬rahkan mushafnya. Ibn Mas`ud marah karena teks mushaf tersebut disusun oleh Zayd ibn Thabit yang jauh lebih muda. Ketika Ibn Mas`ud sudah menjadi Muslim, Zayd masih berada dalam pelukan orang-orang kafir. Menggulirkan lagi keraguannya terhadap otentisitas Mushaf `Utsmani, para orientalis berpendapat perbedaan qira'ah muncul karena Mushaf `Utsmani tidak memiliki titik dan tanda baca.

Jadi, qira'ah diwarisi dari Nabi. Tidak ada qira'ah yang berasal dari ruang yang vakum atau hasil dari dugaan para in¬novator. Ketika qira'ah yang otoritatif lebih dari satu, sumber dari banyaknya qira'ah ini dapat ditelusuri ke Rasulullah saw. Pada zaman para sahabat, sebuah buku muncul dengan judul banyaknya qira'ah. Ketika waktu berkembang, perbandingan qira'ah diantara para Qurra' terkenal dari berbagai negeri dan berkulminasi di karya Ibn Mujahid.

Sekiranya pendapat para orientalis benar bahwa perbeda¬an qira'ah disebabkan tidak ada titik dan harakah, maka Mus¬haf `Utsmani akan memuat mungkin jutaan masalah qira'ah, namun ini tidak terjadi. Selain itu, argumentasi mereka juga salah karena para Qurra' banyak sekali sepakat dengan qira'ah dalam ortografi yang sama.

6. Al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi (41-95 H/661-714)

Para orientalis seperti Noldeke-Schwally, Paul Casanova, Alphon¬se Mingana dan Arthur Jeffery menganggap al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi ketika menjadi Gubernur di Iraq (75/694-95/ 714) telah merubah Al-Qur'an yang telah dikanonisasikan `Utsman ra. Mingana, misalnya, berpendapat bahwa al-Hajjaj telah menghilangkan berbagai ayat yang seharusnya ada di dalam Al-Qur'an. Sumber yang dijadikan panduan oleh Mingana adalah pendapat Casanova.

Jeffery berpendapat al-Hajjaj telah membuat Qur'an edisi baru. Sangat disayangkan, Jeffery sama sekali tidak memeriksa informasi yang ada di dalam Kitab al-Masahif.

Selain itu, isu mengenai perubahan yang dilakukan oleh al-Hajjaj terhadap Mushaf `Utsmani menunjukkan perbedaan qira'ah. Bagaimanapun, disebabkan ada diantara qira'ah tersebut yang satu orangpun tidak ada yang membacanya, maka tuduhan yang dilemparkan kepada al-Hajjaj tidaklah benar. Masih banyak lagi argumentasi lain yang menunjukkan, anggapan al-Hajjaj telah mengubah mushaf `Utsmani adalah tidak berdasar sama sekali.

Pertama, al-Hajjaj setia kepada 'Utsman. Kedua, pada zaman al-Hajjaj, Mushaf `Utsmani sudah tersebar diberbagai daerah dan al-Hajjaj adalah salah seorang dari Gubernur di Kufah di zaman kekhalifahan ‘Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M), yang menguasai daerah yang lebih luas. Ketiga, seandainya al¬Hajjaj mengubah Mushaf 'Utsman, maka tentu umat akan akan bangkit untuk melawan. Keempat, dinasti Abbasiah, yang didirikan di atas reruntuhan dinasti Umayyah, telah banyak mengubah kebijakan yang sudah dibuat sebelumnya oleh dinasti Umayyah. Seandainya al-Hajjaj dari Bani Umayyah mengubah Al-Qur'an, dinasti Abbasiah akan mengeksp¬loitasi isu tersebut untuk menghantam al-Hajjaj secara khusus atau Bani Umayyah, secara umum. Namun, isu seperti itu tidak pernah muncul.

Sejarawan Muslim seperti Ibn Khallikan (608-681 H), memang menyebutkan peran al-Hajjaj dalam memberikan tanda-tanda diaktritis kepada ortografi Mushaf `Utsmani. Namun, tidak seorangpun baik Ibn Khallikan atau sejarawan Muslim yang lain menuduh al-Hajjaj telah mengubah sebelas tempat dari Mushaf `Utsmani.

7. Ibn Mujahid (245-324 H/859-936)

Jeffery berpendapat bahwa keragaman qira'ah lambat laun mengalami pembatasan karena tekanan politis. Jeffery mengecam pembatasan ikhtiyar (the limitation of ikhitiyar) yang dilakukan oleh sultan Ibn Muqla (m. 940 M) dan sultan Ibn `Isa (m. 946 M) pada tahun 322 H. Menurut Jeffery, para penguasa tersebut bertindak atas desakan dan rekayasa Ibn Mujahid (m. 324/936 M). Padahal, dalam pan¬dangan Jeffery, pada periode awal Islam, keragaman qira'ah itu beragam dan tumbuh subur sebagaimana terungkap dalam berbagai mushaf. Selain itu, Jeffery berpendapat Ibn Mujahid telah mene¬kan qira'ah yang lain seperti tiga qira'ah sebagaimana qira'ah sepuluh. Bahkan, tegas Jeffery, masih terdapat empat qira'¬ah lain sehingga semuanya menjadi 14 sistem. Keempat qira'ah yang terakhir adalah Ibn Muhaisin (m. 123) dari Mekkah, al-Hasan (m. 110) dari Basra, al-Yazidi (m. 202) dari Basra dan al-A`mash (m. 148) dari Kufah. Dalam pandangan Jeffery, keempat qira'ah yang terakhir tersebut lebih tepat untuk dimasukkan ke dalam ‘tujuh qira'ah' dibanding dengan pilihan Ibn Mujahid.

Jeffery menyimpulkan terdapat dua kelompok varian bacaan Al-Qur'an. Pertama, varian kanonik, yaitu tujuh varian bacaan yang dikanonisasi oleh Ibn Mujahid, dan kedua, varian qira'ah yang otoritasnya lebih rendah yaitu sepuluh qira'ah dan yang bukan kanonik, meliputi semua varian yang lain (shawadhdh). Dalam pandangan Ibn Mujahid, empat qira'ah yang menjadikan empat belas sangat dekat untuk diakui sebagai kanonik. Selain itu, Jeffery juga menunjukkan sebenarnya terdapat sejumlah perbedaan mengenai varian bacaan di dalam masing-masing sistem dari yang tujuh itu.

Pendapat Jeffery mengenai Ibn Mujahid perlu dicermati dengan serius. Pertama, pendapat Jeffery yang menyalahkan tindakan Ibn Mujahid karena membatasi periode ikhtiyar tidaklah tepat. Qira'ah bukanlah berarti membaca AI-Qur'an dengan bebas. Keragaman qira'ah bukanlah hasil dari ikhtiyar, namun adalah berasal dari Rasulullah saw. Syarat paling utama qira'ah harus memiliki sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw. Konsep ikhtiyar dalam qira'ah bukanlah sebagai¬mana yang dipahami Jeffery, yaitu membaca sesuai keinginan pembaca. Menurut al-Baqillani (m. 403 H), perbedaan diantara para Qurra', bukan berarti mereka berijtihad dan bebas memilih cara baca apa saja sesuai dengan fikiran, sebagaimana para fuqaha' yang berijtihad di dalam masalah hukum. Dalam pandangan al-Baqillani, pendapat seperti ini salah karena Al-Qur'an berdasarkan kepada riwayah. Kedua, pendapat Jeffery membela qira'ah Ibn Shanna¬budh dan Ibn Miqsam juga tidak tepat. Ibn Shannabudh mem¬baca Al-Qur'an dengan tidak mengikut ortografi Mushaf 'Utsmani.

Ibn Miqsam tidak menjadikan isnad sebagai syarat sah sebuah qira'ah. Padahal isnad adalah syarat utama yang disepakati oleh para ulama (consensus doctorum). Oleh sebab itu, qira'ah Ibn Miqsam dilarang untuk disebarkan. Tapi kemudian, Ibn Miqsam bertobat dan kemudian mengikuti kese¬pakatan para ulama.

Selain itu, sikap Ibn Mujahid terhadap Ibn Shannabudh dan Ibn Miqsam didukung oleh para ulama lain. Membiarkan berkembangnya bacaannya Ibn Shannabudh dan Ibn Miqsam akan mengacaukan Al-Qur'an. Jadi, Ibn Mujahid menolak qira'ah Ibn Shannabudh dan Ibn Miqsam karena Ibn Shanna¬budh menyepelekan ortografi Mushaf 'Utsmani dan lbn Miq¬sam menyepelekan sanad. Dalam pandangan Ibn Mujahid, sebuah qira'ah itu memiliki syarat-syarat.

8. Al-Qur'an Edisi Kritis

Dalam pandangan Jeffery, Al-¬Qur'an memiliki banyak kelemahan. Ia ingin menyusun se¬buah Al-Qur'an dengan bentuk yang baru atau Al-Qur'an edisi kritis (a critical edition of the Qur'an).

Dalam pikiran Jeffery, format Al-Qur'an edisi kritis ter¬sebut memiliki empat jilid. Selain dari empat jilid tersebut, Jeffery juga mendambakan untuk mengeluarkan serial Studi Sejarah Teks Al-Qur'an (Studien zur Geschicte des Koran-texts), sebagaimana yang telah digagas oleh Bergstrasser. Selain itu, sejak zaman para Sahabat hingga kini menye¬pakati Al-Qur'an Mushaf `Utsmani. Abu `Ubayd (m. 224 H).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar