Minggu, 13 November 2011

BAB II METODOLOGI BIBEL DALAM STUDI AL-QUR'AN


Para teolog Yahudi-Kristen mengakui Bibel ternyata memiliki sejumlah kesalahan mendasar. Kajian kritis Bibel tersebut melahirkan banyak metode kritis yang disebut dengan biblical criticism (kritik Bibel). para orientalis menggunakan biblical criticism sebabai kerangka dasar untuk mengkaji Al-Qur'an. Pemikir muslim kontemporer Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd, juga menerapkan metodologi Bibel ke dalam studi Al-Qur'an.

1. Biblical Criticism

Pada tahun 1514 naskah Perjanjian dalam bahasa Yunani kuno baru pertama kali dicetak. Tapi, yang dijadikan textus receptus adalah edisi naskah yang diterbitkan oleh Desiderius Erasmus (1469-1536) dari Rotterdam, Belanda pada tahun 1516. Versi Erasmus ini mendapat kritikan untuk pertama kalinya dari Richard Simon (1638-1712), yang dijuluki `the father of Biblical criticism'. Dia sebagai orang pertama yang menggunakan metode- medote kritis di dalam studi historis.

John Mill mengkaji kritis teks (textual criticism) Perjanjian Baru dengan cara menghimpun varian bacaan dari manuskrip-manuskrip Yunani kuno, ragam versi teks Perjanjian Baru dari para Petinggi Gereja. Hasilnya, Mill dapat meng¬himpun sekitar 30.000 varian bacaan yang berbeda dengan textus receptus dalam versi bahasa Yunani kuno.

Dr. Edward Wells (1667-1727) melanjutkan penelitian yang telah dilakukan John Mill. Wells adalah orang pertama yang mengedit secara lengkap Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani Kuno.

Richard Bentley (1662-1742) mengkaji secara kritis teks edisi Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani kuno dan Latin. Bentley meninggalkan textus receptus lebih dari 40 tempat. Ia menghimpun materi-materi untuk membuat Perjanjian Baru edisi kritis yang akan mengganti textus receptus. Ketika ia sedang melakukan itu, Daniel Mace, seorang Pastur Presbyterian di Newbury menerbitkan Perjanjian Baru dalam 2 jilid dan dalam dua bahasa, Yunani kuno dan Inggris.

Naskah tersebut diterbitkan di London pada tahun 1729. Dalam pandangan Mace, varian bacaan yang dihimpun Mill lebih tinggi dari textus receptus.

Johann Albrecht Bengel (1687-1752), yang pertama kali menyusun bukti-bukti kepada teks Perjanjian.Baru. Johann Jakob Wettstein (1693-1754), membuat apparatus criticus serta memasukkan berbagai ragam bacaan sebagai alternatif kepada textus receptus.



Johann Salomo Semler (1725-1791), Jerman, menulis berbagai karya yang menganalisa secara kritis-historis teks Perjanjian Baru.

Dalam pandangan Semler, bagian-bagian dari Bibel bukanlah inspirasi dan tidak dapat diterima secara otoritatif. Semler juga berpendapat buku yang ada di dalam Bibel adalah murni historis belaka. Bibel terbentuk berdasarkan kepada kesepakatan dari wilayah-wilayah Gereja. Menurut Semler lagi, setiap orang Kristen berhak untuk meneliti secara bebas kondisi historis setiap buku di dalam Bibel ketika ditulis.

Johann Jakob Griesbach (1745¬-1812) menerbitkan pada tahun 1774-1775 sebuah edisi Perjanjian Baru Yunani. Griesbach juga membuat apparatus criticus. Sekalipun ia merujuk kepada bukti-bukti teks kepada tiga versi, yaitu Al¬exandria, Barat dan Konstatinopel, Griesbach menganggap hanya kodex Alexandria dan kodex Barat yang berharga. Ia mengkaji keterkaitan antara Matius, Makus dan Lukas. Dalam pandangannya, susunan kronologis dari objek pembahasan ketiga para pengarang Bibel (Synoptics) tersebut tidak dapat dipercaya.

Johann Gottfried Herder (1744-1803), Jerman, menyatakan setiap pengarang Bibel memiliki maksud, waktu dan lokasi masing-masing. Ia menegaskan Bibel yang utama (Primal Gospel) adalah oral dibanding tulisan.

Friedrich Daniel Ernst Sehleiermacher (1768-1834), Berlin, yang digelari juga sebagai `the founder of General Hermeneutics ' Dalam pandangan Schleiermacher, Timotius I bukanlah berasal dari Paul. Schleirmacher melengkapi tafsirnya kepada teks dengan menganalisa pemahaman sejarah-bahasa dan psikologis.

Lachmann merupakan `the founder of the modern era of textual criticism' (pendiri kritik teks era modern). Setelah Lachmann, banyak sekali para sarjana Kristen menganalisa teks dan menolak textus receptus, seperti Lobe¬gott Friedrich Constantin von Tischendorf (1815-1874), Samuel Prideaux Tregelles (1813-1875), Henry Alford (1810¬1871), Brooke Foss Westcott (1825-1901), Bernhard Weiss (1827-1918), Hermann Freiherr von Soden (1852-1914), dan lain-lainnya.

Ini menunjukkan bahwa pada abad ke-19 M, textus receptus Perjanjian Baru sudah ditolak. Berbagai jenis disiplin ilmiah untuk mengkritik Bibel (biblical criticism) telah mapan. Kata criticism berasal dari kata kerja Yunani, krina: memisahkan, membedakan, memilih, menentukan atau menilai. Sarjana yang menggunakan metode kritis-historis bertindak sebagai sejarawan dan hakim yang berusaha untuk menentukan kebenaran problema yang sedang dikaji.

Salah satu bentuk dari biblical criticism adalah metode kritis-historis (historical-critical method). Ketika diterapkan pada studi Bibel, kritik-historis melibatkan penentuan teks yang paling lama, watak kesastraannya, kondisi-kondisi yang memunculkannya, dan makna asalnya. Ketika diterapkan utuk mengkaji Yesus dan Bibel, kritis-historis melibatkan usaha untuk memisahkan legenda dan mitos dari fakta, mengkaji mengapa para penulis Bibel melaporkan dengan versi yang berbeda-beda, dan berusaha menentukan mana yang betul-betul perkataan Yesus.

Dalam metode yang luas ini, terdapat beberapa jenis kritik lain yang saling terkait diantaranya kritik teks (textual criticism), kajian filologis (philological study), kritik sastra (liter¬ary criticism), kritik bentuk (fonn criticism) dan kritik redaksi (redaction criticism). Tujuannya menetapkan akurasi sebuah teks. Menganalisa teks melibatkan dua proses, yaitu edit (recen¬sion) dan amandemen (emendation).

Kata form criticism (kritik bentuk) adalah terjemahan dari kata Jerman Fonngeschichte, yang artinya "sejarah-bentuk" dan kata Fonngeschichte muncul pertama kalinya di dalam karya seorang sarjana Jerman Martin Dibelius (1919). Dise¬babkan karya Dibelius dan dua karya sarjana Jerman lainnya, yaitu K. L. Schmidt (1919) dan R. Bultmann (1921), form criticism menjadi sebuah metode dalam studi Perjanjian Baru.

Kritik redaksi (redaction criticism) di dalam studi Bibel bertujuan untuk menentukan bagaimana para pengarang Bibel menggunakan materi-materi yang ada di tangan mereka. Kri¬tik redaksi berusaha untuk memahami mengapa para penulis Bibel menulis seperti itu dan mempelajari materi-materi yang mereka tambahkan ke dalam karangan mereka. Kritik redaksi memfokuskan kepada apa yang dimasukkan dan apa yang tidak beserta perubahan-perubahan sumber-sumber yang di¬ketahui pangarang Bibel. Bukan kcpada tradisi oral dan sum¬ber-sumber Bibel itu sendiri.

Metodologi Bibel memang tepat diterapkan untuk Bibel, karena Bibel hasil karangan beberapa orang penulis. Karang¬ an pengarang Bibel terwarnai oleh latar belakang mereka ma¬sing-masing. Oleh sebab itu, kanonisasi, textus receptus dan teks standart Bibel memang harus ditolak. Jadi, sebenarnya Bibel bukanlah kitab suci sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat awam Kristen. Bibel memuat sejumlah permasa¬lahan mendasar. Bagaimanapun, ketika para sarjana Barat, orientalis atau Islamolog Barat mengkaji Al-Qur'an, mereka membawa biblical criticism masuk ke dalam studi AI-Qur'an. Padahal, AI-Qur'an itu bukan karangan manusia. Ia adalah tanzil, dan bukan produk budaya. Jadi, metodologi biblical criticism tidak tepat diaplikasikan ke dalam metodologi ‘ulũm AI-Qur'an. Memang ada beberapa kemiripan antara ulũm AI-Qur'an dengan biblical criticism. Namun, terdapat juga se¬jumlah perbedaan yang mendasar antara keduanya.

2. Aplikasi Metodologi Bibel Dalam Al-Qur'an

Para sarjana Barat, orientalis dan Islamolog Barat sudah mulai menerapkan biblical criticism ke dalam studi Al-Qur'an sejak abad ke-19 M. Diantaranya seperti yang dilakukan oleh Abraham Geiger (1810-1874), Gustav Weil (1808-1889), William Muir (1819-1905), Theodor Noldeke (1836-1930), Friedrich Schwally (m. 1919), Edward Sell (1839-1932), Hartwig Hirschfeld (1854-1934), David S. Margoliouth (1858-1940), W. St. Clair-Tisdall (1859-1928), Louis Cheikho (1859-1927), Paul Casanova (1861-1926), Julius Wellhausen (1844-1918), Charles Cutley Torrey (1863¬1956), Leone Caentani (1869-1935), Joseph Horovitz (1874¬1931), Richard Bell (1876-1953), Alphonse Mingana (1881¬1937), Israel Schapiro (1882-1957), Siegmund Fraenkel (1885-1925), Tor Andrae (1885-1947), Arthur Jeffery (1893¬1959), Regis Blachere (1900-1973), W. Montgomery Watt, Kenneth Cragg, John Wansbrough (1928-2002), dan yang masih hidup seperti Andrew Rippin, Christoph Luxenberg (nama samaran), Daniel A. Madigan, Haraid Motzki dan masih banyak lagi lainnya.

Abraham Geiger (m. 1874), seorang Rabbi sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Pada tahun 1833, Geiger menulis Apa yang telah Muhammad Pinjam dari Yahudi?. ia mengkaji AI-Qur'an dari konteks ajaran-ajaran Yahudi. Orientalis lain yang termasuk awal menerapkan biblical critism ke dalam studi Al-Qur'an adalah Gustav Weil (m. 1889), seorang Yahudi Jerman. Dengan menggunakan metode kritis-historis, Dalam pandangan Weil, Al-Qur'an perlu dikaji secara kronologis. Ia mengemukakan tiga kriteria untuk aransemen kronologi Al-Qur'an: (i) rujukan-rujukan kepada peristiwa-peristiwa historis yang diketahui dari sumber-sum¬ber lainnya; (ii) karakter wahyu sebagai refleksi perubahan situasi dan peran Muhammad; dan (iii) penampakan atau bentuk lahiriah wahyu. Mengenai surah-surah Al-Qur'an, Weil membagi menjadi empat kelompok. (i) Makkah pertama atau awal; (ii) Makkah kedua atau tengah; (iii) Makkah ketiga atau akhir dan (iv) Madinah. Titik-titik peralihan untuk keempat periode ini adalah masa hijrah ke Abisinia (sekitar 615) untuk periode Makkah awal dan Makkah tengah, saat kem¬balinya Nabi dari Taif (620) untuk periode Makkah tengah dan Makkah akhir, serta peristiwa Hijrah (September 622) untuk periode Makkah akhir dan Madinah.

Theodor Noldeke (m.1930), seorang orientalis Jerman. menulis dalam bahasa Latin tentang sejarah Al-Qur'an. Disertasinya diterjemahkan ke bahasa Jerman dengan judul Geschichte des Qorans (Sejarah Al¬Qur'an) dan diterbitkan pada tahun 1860. Dalam pandangan Arthur Jeffery (m. 1959), karya Noldeke merupakan buku yang pertama kali memberikan landasan ilmiah yang sebenar¬nya untuk mengkaji Kitab Suci Islam (Geschichte des Qorans provided for the first time a really scientific basis for study of the Scripture of Islam). Maksud Jeffery dengan "landasan ilmiah yang sebenarnya" (a really scientific basis) tidak lain adalah biblical criticism.

Menyadari sangat pentingnya buku Noldeke bagi kalangan orientalis, penerbit buku tersebut pada tahun 1898 meng¬usulkan supaya Noldeke menerbitkan edisi kedua. Dise¬babkan Noldeke tidak sanggup melakukannya, maka tugas ini dipercayakan kepada Friedrich Schwally, murid Noldeke. Schwally mengedit dan merevisi buku tersebut menjadi dua edisi. Edisi pertama tentang asal mula al-Quran (uber den Ursprung des Qorans), diselesaikan tahun 1909, dan edisi kedua tentang penyusunan Al-Qur'an (Die Sammlung des Qorans) diselesaikan tahun 1919. Setelah menyelesaikan manuskrip itu-dan ketika sedang dicetak-Schwally me¬ninggal dunia, pada tanggal 5 Februari 1919. Schwally juga sudah merintis edisi ketiga dengan menulis kata pengantar tentang Sejarah Text AI-Qur'an (Die Geschichte des Koran¬texts).

Pendeta Edward Sell (m. 1932), India, menyeru seka¬ligus mendesak agar kajian terhadap historisitas Al-Qur'an dilakukan. Menurutnya, kajian kritis-historis Al-Qur'an tersebut perlu menggunakan kritik Bibel (biblical critism).

Arthur Jeffery, Australia penganut Kristen Metodist, berpendapat agama yang memiliki kitab suci akan memiliki masalah dalam sejarah teks (textual history).

Dengan menggunakan "metode-metode penelitian kritis modern" (biblical criticism), Jeffery ambi¬sius ingin mengedit Al-Qur'an secara kritis (a critical editon of the Qur'an). Kebetulan pada tahun 1926, Gotthelf Bergstrasser di Konigsberg telah menyelesaikan Die Geschichte des Qoran ¬texts (Sejarah Teks Al-Qur'an), Lembaran-lembaran foto manuskrip tersebut disimpan di Lembaga Al-Qur'an Akademi Sains Bavaria, sebuah Lembaga Al¬Qur'an yang berdiri atas prakarsa Bergstrasser. Lembaga ter¬sebut berada di bawah naungan Universitas Munich.

Dengan mengkaji sejarah teks Al-Qur'an secara kritis, Jeffery dan Bergstrasser berharap akan membuat terobosan-terobosan baru. Mereka menghimpun dalam kuan¬titas besar segala sumber yang berkaitan dengan ragam baca¬an. Mereka mencari serta mengedit sejumlah naskah dalam bentuk manuskrip. Murid-murid Bergstrasser, seperti Dr. Otto Pretzl dan Dr. Eisen, ikut membantu, Pretzl mulai bergabung, ketika Bergstrasser mendirikan Lembaga Al-Qur'an Akademi Sains Bavaria. Pretzl pergi ke Turki pada tahun 1928 untuk menda¬patkan manuskrip Kitab al-Taysir fi al-Qira'ah al-Sab ` dan a/¬Muqni ` fi Rasm Masahifal-Amsar. karya Abu Amr `Utsman ibn Sa`id al-Dani (m. 444/1052). Pretzl meng¬edit kedua manuskrip tersebut. Hasilnya, Kitab al-Taysir fi al¬Qira'ah al-Sab` diterbitkan pada tahun 1930. Dua tahun setelah itu, al-Muqni ` fi Rasm Masahifal-Amsar juga terbit. Sebagaimana Pretzl, Eisen pada tahun 1935 mengedit manus¬krip Fada'il AI-Qur'an, karyanya al-Qasim Ibnu Sallam Abu `Ubayd (m. 244/838) buku yang paling awal memuat qira'ah.

Sekalipun semakin sukar, Jeffery tetap ingin merealisasikan Al-Qur'an edisi kritis. la meneruskan usahanya dengan kerjasama Otto Pretzl, yang masih setia terhadap usaha guru¬nya. Pretzl menyelesaikan Die Geschichte des Qorantexts (Sejarah Teks Al-Qur'an) pada tahun 1937. Akhirnya, Buku Geschichte des Qorans, diterbitkan pada tahun 1938. Namun demikian ambisi Jeffery, Bergstrasser dan Pretzl membuat proyek Al-Qur'an edisi kritis, berakhir dengan tragedi. Segala bahan yang telah mereka himpun di Munich men¬capai 40.000 naskah, musnah terkena bom tentara sekutu pada perang Dunia ke-2. Pretzl terbunuh dalam peperangan di luar Sebastopol pada tahun 1941.

Paruh kedua pertengahan abad ke 20, metodologi Bibel yang diterapkan oleh para orientalis dalam studi Al-Qur'an semakin mapan. Pada tahun 1977, karya John Wansbrough (m.2002), Quranic Studies terbit. Wansbrough berpendapat bentuk struktur Al-Qur'an yang ada sekarang merupakan produk perkembangan tradisi dalam periode periwayatan yang panjang. Kritik sastra menggiring Wansbrough untuk menyimpul¬kan teks yang diterima (textus receptus) dan selama ini diyaki¬ni oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang bela¬kangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Menurut Wansbrough, teks Al-Qur'an baru menjadi baku setelah tahun 800 M.

Pendapat radikal Wansbrough telah dikritik oleh para sarjana Barat yang lain. Estelle Whellan, yang mengkaji prasasti di dalam the Dome of the Rock dan prasasti yang ada pada dinding Masjid Nabi di Madinah, misalnya, menyimpulkan bahwa teks Al-Qur'an sudah menjadi teks yang tetap (fixed) pada abad pertama Hijrah.

Awal abad 21, tepatnya pada tahun 2001, Christoph Luxenberg (nama samaran), dengan pengetahuan Syiria¬Aramaik yang masih perlu dipertanyakan (shaky) menyim¬pulkan Al-Qur'an perlu dibaca dalam bahasa Aramaik. Dalam pandangan Luxenberg, sebagian besar Al-Qur'an tidak benar secara tata bahasa Arab. Al-Qur'an ditulis dalam dua bahasa, Aramaik dan Arab. Luxenberg menulis Die syroaramaisc6e Lesart des Koran. Ein Beitrag zur Entsclusselung der Koransprache (Cara membaca Al-Qur'an dengan bahasa Syria-Aramaik. Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa Al-Qur'an).

Dengan menggunakan metode ilmiah filologis, (the scien¬tific method ofphilology) Luxenberg ingin menghasilkan teks Al-Qur'an yang lebih jelas (producing a clearer text of the Qur'an). Kajian filologis Luxenberg terhadap Al-Qur'an menggi¬ringnya untuk menyimpulkan: (1) bahasa Al-Qur'an sebenar¬nya bukan bahasa Arab. Karena itu, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sulit dipahami kecuali dengan merujuk pada bahasa Syriak-Aramaik yang konon merupakan merupakan lingua franca pada masa itu; (2) Bukan hanya kosakatanya berasal dari Syriak-Aramaik, bahkan isi ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kris¬ten-Syiria (Peshitta); (3) Al-Qur'an yang ada tidak otentik, perlu ditinjau kembali dan diedit ulang.

Bila diteliti, kajian filologis Luxenberg memiliki beberapa masalah: (1) Luxenberg menentukan bacaannya kepada Al¬Qur'an berdasarkan kepada pengetahuannya terhadap bahasa Syiriak-Aramaik, padahal qira'ah itu bukan ditentukan oleh rasm namun oleh riwayah. Para ulama sepanjang zaman telah menyepakati bahwa ortografi mengikuti riwayat (al-rasm tabi' li al-riwayah); (2) Sekalipun ada kosa kata di dalam Al-Qur'an berasal dari kosa-kata Syiriak-Aramaik, namun makna dari kosa kata telah diisi dengan makna baru yang sesuai dengan pandangan hidup Islam; (3) Luxenberg menggunakan kamus bahasa Syiriak-Aramaik yang ditulis pada abad 19 dan 20 untuk mencari makna Syiriak-Aramaik pada abad ke-7 atau 8 Masehi (zaman Islam). (4) Mungkin saja kosa kata Al-Qur'an yang mirip dengan kosa kata Syiriak-Aramaik, merupakan suatu kebetulan, tidak seharusya menunjukkan "teori penga¬ruh." Dalam perkembangannya, metodologi Bibel ikut juga diterapkan oleh beberapa sarjana Muslim seperti Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd.



3. Mohammed Arkoun dan Metodotogi Studi AI-Qur'an

Mohammed Arkoun sangat menyayangkan jika sarjana Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Menurut Mohammed Arkoun, sarjana Muslim menolak menggunakan metode ilmiah (biblical criticism) karena alasan politis dan psikologis.

Akibat menolak biblical criticism, maka dalam pandangan Mohammed Arkoun, studi Al-Qur'an sangat ketinggalan dibanding dengan studi Bibel. Ia berpendapat metodologi John Wansbrough memang sesuai dengan apa yang selama ini memang ingin ia kembangkan.

Dalam pandangan Mohammed Arkoun, Mushaf `Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan "tak terfikirkan" disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Untuk mengubah "tak terfi¬kirkan" (unthinkable) menjadi "terfikirkan" (thinkable), Mo¬hammed Arkoun mengusulkan supaya membudayakan pemi¬kiran liberal (free thinking).

Menurutnya, pemikiran liberal merupakan tanggapan kepada dua kebutuhan makro. Pertama, kaum Muslimin perlu memikirkan masalah-masalah yang selama ini tidak pernah terfikirkan. Masalah-masalah tersebut dibuat pemikir Muslim ortodoks. Kedua, pemikiran kontemporer perlu membuka wawasan baru, melalui pendekatan sistematis lintas-budaya terhadap masalah-masalah fundamental.

Mohammed Arkoun mencapai pemikiran liberal dengan dekonstruksi. Baginya, dekonstruksi (membongkar) adalah sebuah ijtihad). Masalah-masalah yang selama ini telah ditekan, ditabukan, dibatasi, dilarang, dan semua itu diklaim sebagai sebuah kebenaran, jika didekonstruksi, maka semua diskursus tadi akan menjadi diskursus terbuka. Arkoun mendekonstruksi dengan menggunakan pendekatan historisitas seba¬gaimana yang telah digunakan para hermeneut Barat seperti Giambattista Vico (1668-1744); J. G. Herder (1744-1803); W. Dilthey (1833-1911); M. Heidegger (1889-1976), J. P. Sartre (1905-1980), R. Aron, P. Ricoeur dan lain-lain. Menurut Mohammed Arkoun, pendekatan historisitas, se¬kalipun berasal dari Barat, namun pendekatan tersebut bukan hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja. Bagi Arkoun, pendekatan tersebut dapat diterapkan dalam semua sejarah umat manusia. Menurutnya lagi, tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan kon¬teks historis.

Mengenai wahyu, Arkoun membaginya dalam dua pering¬kat. pertama adalah apa yang disebut Al-Qur'an se¬bagai Umm al-Kitab (Induk Kitab) (Al-Qur'an, 13:39; 43:4). kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible, Gos¬pel, dan Al-Qur'an. Umm al-Kitab adalah Kitab Langit, wah¬yu yang sempurna, dari mana Bibel dan Al-Qur'an berasal. Pada peringkat pertama ( Umm al-Kitab), wahyu bersifat abadi, tidak terikat waktu, serta mengandung kebenaran ter¬tinggi. Namun, menurut Arkoun, kebenaran absolut ini di luar jangkauan manusia, karena bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam Lawh Mahfuz (Preserved Tablet) dan tetap berada bersama dengan Tuhan sendiri. Wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui bentuk pada peringkat kedua. Peringkat kedua ini, dalam istilah Arkoun dinamakan "edisi dunia" (editions terrestres). Menurutnya, pada peringkat ini, wahyu telah mengalami modifikasi, revisi, dan substitusi.

Mengenai sejarah Al-Qur'an, Arkoun membaginya men¬jadi tiga periode: periode pertama berlangsung ketika pewah¬yuan (610-632 H); periode kedua, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf (12-324 H/632 - 936 M) dan periode berlangsung ketika masa ortodoks (324 H/936 M). Arkoun menamakan periode pertama sebagai Prophetic Discourse (Diskursus Kenabian) dan periode kedua sebagai Official Closed Corpus (Korpus Resmi Tertutup). Berdasarkan pada kedua periode tersebut, Arkoun mendefinisikan Al-Qur'an sebagai "sebuah korpus yang selesai dan terbuka yang diung¬kapkan dalam bahasa Arab, dimana kita tidak dapat meng¬akses kecuali melalui teks yang ditetapkan setelah abad ke 4H/ 1 0 M."

Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, Al-Qur'an lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Sebabnya, Al-Qur'an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat status Al¬-Qur'an dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan (al-kitab al-muhi) menjadi sebuah buku biasa (kitab 'adi).



Pemikiran Mohammed Arkoun yang liberal telah mem¬buat paradigma baru tentang hakikat teks Al-Qur'an. Mohammed Arkoun mengakui kebenaran Umm al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui .kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan AI-Qur'an, tetapi bentuk itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Jadi, pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun justru menggiringnya kepada sesuatu yang ahistoris. Padahal, sepanjang zaman fakta historis menunjukkan, kaum Muslimin dari sejak dulu, sekarang dan akan datang, meyakini kebenaran Al-Qur'an Mushaf `Utsmani.

4. Nasr Hamid dan Hermeneutika Al-Qur'an

Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943), seorang intelektual asal Mesir, mengunakan metode analisis teks bahasa ¬sastra (nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) ketika mengkaji Al-Qur'an. Dalam pandangannya, metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Isam. Metodologi kritik sastra (literary criticism) yang diterap¬kan Nasr Hamid merupakan bagian dari teori-teori herme¬neutika. Menurut Nasr Hamid, teks Ilahi (divine text) berubah menjadi teks manusiawi (human text) sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada Muhammad. Oleh sebab itu, Al-Qur'an adalah `produk budaya' (muntaj thaqat). Ia juga menjadi `produsen budaya' (muntij li al-thaqafah) karena menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain.

Penulis buku ini mengatakan bahwa Al-Qur'an bukanlah produk budaya, karena Al¬-Qur'an bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Qur'an justru membawa budaya baru dengan menentang serta mengubah budaya yang ada.

Menurut al-Attas, bahasa Arab Al-Qur'an adalah bahasa Arab bentuk baru. AI¬Qur'an mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang-¬bidang semantik dan kosa kata. Al-¬Qur'an mengislamkan dan membentuk makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab.

Al-Qur'an juga bukan teks manusiawi, sebagaimana klaim Nasr Hamid, karena ia bukan kata-kata Muhammad. Allah ber¬firman yang artinya: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (AI-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Keimanan dan keyakinan akan kebenaran Al-Qur'an sangat penting bagi seorang mufasir Al-Qur'an. Ini disebab¬kan status Al-Qur'an tidaklah sama dengan teks-teks yang lain. Al-Qur'an bersumber dari Allah. Sembarang metodologi tidak bisa begitu saja diterapkan kepada Al-Qur'an. Hermeneutika Nasr Hamid akan membawa kepada konsep bahwa tafsir itu relatif. Jadi, pernyataan bahwa tafsir itu relatif adalah sebuah kekeliruan, sekalipun terdapat ribuan buku tafsir. Ilmu tafsir yang telah diformulasikan oleh para ulama yang berwibawa telah mengakar dalam tradisi Islam. Ilmu tafsir itu muncul karena bahasa Al-Qur'an memiliki struktur. Ilmu tafsir tidak sama dengan hermeneutika Yunani, Kristen atau ilmu interpretasi kitab suci yang lain dari agama dan budaya apapun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar