Ketika
Rasulullah Muhammad SAW menyampaikan risalahnya, beliau dihadapkan pada suatu
umat yang sangat materialistic. Yang ada dalam benak mereka hanyalah harta dan
harta. Mereka pun enggan bersembunyi di balik tradisi- tradisi mulia, yang
mereka punya dan inginkan hanyalah demi memperoleh harta.
Seorang
saudagar kaya waktu itu, Uqbah Ibnu Mu’ith, pulang dari perjalanan dagangnya.
perjalanan yang biasa ia tempuh memang bukan jarak dekat, Syam dan Yaman. Bila
musim panas, ia berdagang ke Syam. Bila musim dingin, Yaman adalah lahan bisnis
yang sangat menggiurkan. Seperti biasa, setiap kali ia pulang dari perjalanan
bisnisnya, ia kerap mengadakan acara tasyakuran. Ia pun mengundang masyarakat
luas untuk menghadiri acaranya. Tentu saja dengan menyediakan beraneka ragam
hidangan sebagai ungkapan syukur.
Tasyakuran
pun dilaksanakan. Pada satu perlehatan, Rasulullah Muhammad SAW. Yang diundang
juga oleh Uqbah, menolak makanan yang disajikan. “Saya tidak akan memakan
hidanganmu sebelum engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selai Allah dan aku adalah
utusanNya.” Mendengar ini, uqbah tak marah, ia tersenyum dan berkata, “Aku
bersaksi tiada Tuhan selain Tuhan yang Esa dan Muhammad adalah utusanNya.” Di
depan banyak orang, Uqbah telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia sudah
masuk Islam. Rasulullah pun gembira. Barangkali, beliau tak percaya bahwa Uqbah
akan secepat itu menyatakan kemuslimannya.
Kala
itu, turunlah surat al-Quraisy: 1-4.
“karena
kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim
dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini
(Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar
dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
Ubay
Ibnu Khalaf, rekan bisnis Uqbah, kebetulan tak hadir di acara tasyakuran
temannya itu. Saat ia mendengar bahwa Uqbah telah mengucapkan dua kalimah
syahadat, ia pun geram. “ Hai Uqbah, kamu sudah rusak,” teriak Ubay tepat di
depan wajah temannya. “demi Allah aku tidak rusak. Tetapi, di rumahku ada tamu.
Muhammad tidak mau makan makananku sebelum aku bersaksi di hadapannya. Aku malu
kalau ia keluar dari rumahku dan tidak makan makananku. Karenanya, aku ucapkan
kesaksianku. Dan ia pun mau makan,” ujar Uqbah berkelit.
“Aku
tidak rela. Aku tak ingin berserikat lagi denganmu sampai kau menyatakan keluar
dari agama Muhammad. Nyatakan di hadapan Muhammad. Lalu cacilah dia di depan
orang banyak. Ludahi wajahnya. Kalau tidak, sekali lagi aku ingatkan, kita tak
punya hubungan bisnis lagi!” ujar Ubay geram mengancam.
Uqbah
tak mau rugi. Ia tak ingin kehilangan rekan bisnis. Baginya, hartalah yang
utama. Keyakinan nomor 1001. Ia mengukur setiap kegiatan dengan untung rugi.
Apa untungnya mengikuti agama Muhammad?
Ia
segera menemui Rasulullah. Dengan sikap dan suara lantang, ia menyatakan keluar
dari Islam. Tak lupa, demi menyenagkan rekan bisnisnya, ia pun meludahi
Muhammad di hadapan para sahabat. Demi menerima perlakuan ini, Rasulullah
berkata, “Hai Uqbah, kelak engkau akan keluar dari Makkah melalui bukit sebelah
itu dan aku akan menyambutmu dari bukit sebelah itu.”
Dari
penjelasan ini bisa kita pahami bahwa, tasyakuran yang diselenggarakan oleh
Uqbah di rumahnya itu sebenarnya bukan tulus demi kebaikan yang murni,
melainkan semata demi harta juga. Ia mengundang orang banyak hanya demi nama
baiknya semata. Ia mengundang tokoh- tokoh hanya sebatas membina relasi kerja.
Ia tidak mempunyai ideology ataupun agama. Ia tidak peduli memeluk agama,
asalkan kepentingan bisnisnya teramankan.
Dalam
perang Uhud, Uqbah termasuk salah seorang kafir yang ditawan kaum muslim.
Seperti ujaran Nabi, ia pun datang kepada Nabi dalam keadaan terbelenggu. Ia
menyesali perbuatannya dulu. Ia juga menyesali karena telah mengikuti kawan
bisnisnya dan mengabaikan hubungan baiknya dengan Rasulullah.
Allah
mengabadikan kisah Uqbah ini dalam surat Al-Furqan ayat 27-29.
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu)
orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya
(dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul". Kecelakaan besarlah
bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku).
Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah
datang kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.”
Alangkah malangnya Uqbah, sudah jatuh tertimpa
tangga. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah Uqbah ini. Hal semacam
ini bisa kita aplikasikan dalam semua lini kehidupan. Tidak hanya pada dimensi
perdagangan atau pun bisnis saja. Pada intinya kita harus memahami bahwa Risalah
Rasulullah Muhammad SAW adalah mutlak dan benar adanya, jangan sampai kita
menjadi golongan orang- orang yang menutupi telinga dan matanya lantaran
menolak Risalah Rasulullah. Manusia adalah ciptaan Allah SWT, dan Allah SWT
tahu dengan pasti apa- apa yang manusia butuhkan serta inginkan. Wallahu
‘Alam Bi Showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar