Sabtu, 24 November 2012

Keyakinan Melawan Materialisme




Ketika Rasulullah Muhammad SAW menyampaikan risalahnya, beliau dihadapkan pada suatu umat yang sangat materialistic. Yang ada dalam benak mereka hanyalah harta dan harta. Mereka pun enggan bersembunyi di balik tradisi- tradisi mulia, yang mereka punya dan inginkan hanyalah demi memperoleh harta.

Seorang saudagar kaya waktu itu, Uqbah Ibnu Mu’ith, pulang dari perjalanan dagangnya. perjalanan yang biasa ia tempuh memang bukan jarak dekat, Syam dan Yaman. Bila musim panas, ia berdagang ke Syam. Bila musim dingin, Yaman adalah lahan bisnis yang sangat menggiurkan. Seperti biasa, setiap kali ia pulang dari perjalanan bisnisnya, ia kerap mengadakan acara tasyakuran. Ia pun mengundang masyarakat luas untuk menghadiri acaranya. Tentu saja dengan menyediakan beraneka ragam hidangan sebagai ungkapan syukur.

Tasyakuran pun dilaksanakan. Pada satu perlehatan, Rasulullah Muhammad SAW. Yang diundang juga oleh Uqbah, menolak makanan yang disajikan. “Saya tidak akan memakan hidanganmu sebelum engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selai Allah dan aku adalah utusanNya.” Mendengar ini, uqbah tak marah, ia tersenyum dan berkata, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Tuhan yang Esa dan Muhammad adalah utusanNya.” Di depan banyak orang, Uqbah telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia sudah masuk Islam. Rasulullah pun gembira. Barangkali, beliau tak percaya bahwa Uqbah akan secepat itu menyatakan kemuslimannya.

Kala itu, turunlah surat al-Quraisy: 1-4.
“karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”

Ubay Ibnu Khalaf, rekan bisnis Uqbah, kebetulan tak hadir di acara tasyakuran temannya itu. Saat ia mendengar bahwa Uqbah telah mengucapkan dua kalimah syahadat, ia pun geram. “ Hai Uqbah, kamu sudah rusak,” teriak Ubay tepat di depan wajah temannya. “demi Allah aku tidak rusak. Tetapi, di rumahku ada tamu. Muhammad tidak mau makan makananku sebelum aku bersaksi di hadapannya. Aku malu kalau ia keluar dari rumahku dan tidak makan makananku. Karenanya, aku ucapkan kesaksianku. Dan ia pun mau makan,” ujar Uqbah berkelit.

“Aku tidak rela. Aku tak ingin berserikat lagi denganmu sampai kau menyatakan keluar dari agama Muhammad. Nyatakan di hadapan Muhammad. Lalu cacilah dia di depan orang banyak. Ludahi wajahnya. Kalau tidak, sekali lagi aku ingatkan, kita tak punya hubungan bisnis lagi!” ujar Ubay geram mengancam.

Uqbah tak mau rugi. Ia tak ingin kehilangan rekan bisnis. Baginya, hartalah yang utama. Keyakinan nomor 1001. Ia mengukur setiap kegiatan dengan untung rugi. Apa untungnya mengikuti agama Muhammad?

Ia segera menemui Rasulullah. Dengan sikap dan suara lantang, ia menyatakan keluar dari Islam. Tak lupa, demi menyenagkan rekan bisnisnya, ia pun meludahi Muhammad di hadapan para sahabat. Demi menerima perlakuan ini, Rasulullah berkata, “Hai Uqbah, kelak engkau akan keluar dari Makkah melalui bukit sebelah itu dan aku akan menyambutmu dari bukit sebelah itu.”

Dari penjelasan ini bisa kita pahami bahwa, tasyakuran yang diselenggarakan oleh Uqbah di rumahnya itu sebenarnya bukan tulus demi kebaikan yang murni, melainkan semata demi harta juga. Ia mengundang orang banyak hanya demi nama baiknya semata. Ia mengundang tokoh- tokoh hanya sebatas membina relasi kerja. Ia tidak mempunyai ideology ataupun agama. Ia tidak peduli memeluk agama, asalkan kepentingan bisnisnya teramankan. 

Dalam perang Uhud, Uqbah termasuk salah seorang kafir yang ditawan kaum muslim. Seperti ujaran Nabi, ia pun datang kepada Nabi dalam keadaan terbelenggu. Ia menyesali perbuatannya dulu. Ia juga menyesali karena telah mengikuti kawan bisnisnya dan mengabaikan hubungan baiknya dengan Rasulullah.

Allah mengabadikan kisah Uqbah ini dalam surat Al-Furqan ayat 27-29.
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul". Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.”

Alangkah malangnya Uqbah, sudah jatuh tertimpa tangga. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah Uqbah ini. Hal semacam ini bisa kita aplikasikan dalam semua lini kehidupan. Tidak hanya pada dimensi perdagangan atau pun bisnis saja. Pada intinya kita harus memahami bahwa Risalah Rasulullah Muhammad SAW adalah mutlak dan benar adanya, jangan sampai kita menjadi golongan orang- orang yang menutupi telinga dan matanya lantaran menolak Risalah Rasulullah. Manusia adalah ciptaan Allah SWT, dan Allah SWT tahu dengan pasti apa- apa yang manusia butuhkan serta inginkan. Wallahu ‘Alam Bi Showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar