Senin, 19 Maret 2012

Pluralisme Agama ???



Makalah ini merupakan article review dari buku Tren Pluralisme Agama karya Dr. Anis Malik Thoha. Khususnya dalam sub bab kedua dari bab kedua yaitu Teologi Global. Di sini, pemakalah akan mencoba menjelaskan satu dari empat tren pluralisme yang dipaparkan penulis dalam bukunya tersebut.

 Secara umum, makalah ini akan berusaha mengajak teman-teman melihat dan menguraikan kembali dua hal: teori pluralisme dan Teologi Global sebagai salah satu tren-nya dengan dua pengusungnya.

Sejarah dan Berkembangnya Teori Pluralisme Agama

Paham Pluralisme Agama lahir dari doktrin pluralisme. Di Barat pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh kebelakang, tapi yang paling dominan adalah akar relativisme. Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras[1]. Di zaman postmodern doktrin ini dicetuskan oleh Nietzche dengan doktrin yang disebut nihilisme yang intinya sama dengan relativisme.[2]

Doktrin relativisme ini mengajarkan bahwa di sana tidak ada lagi nilai yang memiliki kelebihan dari nilai yang lain. Agama tidak berhak mengklaim mempunyai kebenaran absolut, ia hanya difahami sama dengan persepsi manusia yang relative itu.

Pluralisme dapat bermakna dua hal: pertama, pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan, kedua doktrin yang berisi a) pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran yang tunggal atau kebenaran satu-satunya tentang suatu masalah c) ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. d) teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran e) pandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya.

Doktrin pluralisme lahir dari “liberalisme” yang terjadi di Barat, yang pada awalnya muncul sebagai pemikiran sosial politis, termasuk pluralisme agama, juga lebih dikenal dengan nuansa politik. Maka tidaklah heran jika kemudian gagasan pluralisme agama muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik. Jelas, faham pluralisme tidak lebih merupakan respon politik terhadap kondisi sosial politik masyarakat Eropa yang plural. Namun keadaan demikian hanya sebatas dalam masyarakat Kristen Eropa.[3]

Penyebaran gagasan pluralisme agama didasari oleh kenyataan konflik sosial yang seringkali terjadi di tengah masyarakat plural. Dari berbagai konfllik yang terjadi dalam sejarah, kalangan Islam liberal melihat Agama sebagai salah satu faktor pemicunya, minimal dalam memberikan justifikasi kepada terjadinya kekerasan atau konflik sosial. Karena itulah Taufik Adnan Amal melihat perlunya Agama didudukan ke kursi pesakitan sebagai tertuduh dalam berbagai konflik yang terjadi.[4]

Dari doktrin-doktrin pluralisme di atas, lahir tiga prinsip yang menjadi landasan pluralisme agama. Pertama, pengakuan pada logika Yang Satu bisa dipahami dan diyakini dalam berbagai bentuk dan tafsiran. Ini berarti bahwa Yang Maha Kuasa bisa dipahami oleh berbagai penganut Agama-agama secara berbeda-beda dan bermacam-macam, namun semuanya tetap mengacu pada suatu keyakinan hanya ada satu Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini adalah hakikat keimanan semua agama yang ditangkap oleh manusia secara plural sebagai konsekuensi niscaya dari Yang Tak Terbatas ketika dipahami oleh yang terbatas.

Prinsip kedua adalah multi tafsiran dan pemahaman mengenai Yang Satu hanyalah alat atau jalan menuju ke Hakikat Yang Absolut. Prinsip Kedua ini penting sebab di samping memberikan dasar atas pandangan pluralisme sebagai suatu keniscayaan, juga sebagai langkah preventif untuk mencegah adanya kemungkinan pemutlakan pada masing-masing bentuk tradisi keagamaan dan pemahaman.

Ketiga, bahwa pengalaman partikular keagamaan, meskipuan terbatas, harus diyakini memiliki nilai mutlak bagi pemeluknya. Namun satu hal yang perlu dicatat di sini bahwa sikap ini tidak berarti memblehkan adanya pemaksaan terhadap orang lain untuk mengakui dan meyakini keyakinan kita, melainkan harus tetap diiringi dengan pengakuan bahwa pada orang lain juga terdapat komitmen mutlak pada pengalamannya seperti yang kita yakini. Dalam kalimat lain, kemutlakan pengalaman partikular keagamaan bersifat relatively absolute.[5]

Demikian lahir dan berkembangnya pluralisme, berawal dari nihilisme dan relativisme yang menolak adanya kebenaran mutlak. Jika paham ini masih dalam koridor sosio-politik, sah-sah saja jika tiap pandangan masih dianggap benar ataupun masih mengandung kebenaran. Akan tetapi jika pluralisme sudah mengajak umat beragama mengangggap bahwa semua agama adalah sama benarnya, ini yang perlu kita tolak, karena tiap agama punya ajarannya masing-masing. Lebih-lebih dalam Agama kita yang mengajarkan hanya ada satu Tuhan Yang Maha Esa.

Teori Global, “hadiah” dari Wilfred Cantwell Smith dan John Hick

Globalisasi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam mengubah kehidupan manusia dengan segala pernak-perniknya. Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia.

Globalisasi telah mempengaruhi semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.

Munculnya gagasan-gagasan baru dalam berbagai bidang tersebut, memaksa agar tidak perlu bersikap resisten dan menentang globalisasi yang sudah nyata-nyata menjadi kenyataan dan tidak mungkin menghindarinya, dimana jagad telah mengkerut dan sekat-sekat geografis telah meleleh. Sebaliknya, manusia dipaksa harus mengubah atau merombak pemikiranya di dalam segala bidang,[6] termasuk dalam beragama, yang menjadi ruh dalam setiap lini kehidupan manusia.

Dalam kehidupan beragama, Globalisasi menyumbangkan teori baru, ikut menyemarakkan bersama teman-teman lainya dalam berpluralisme, yang disebut sebagai teologi global, yang lagi-lagi memaksa menolak kebenaran mutlak Agama.

Dalam bukunya, Dr. Anis Malik Thoha menguraikan dua pengusung tren ini, yaitu Wilfred Cantwell Smith[7] yang mengkaji ulang terminologi Agama dalam bukunya To ward the word Theology:Faith and The Comparative History of Religion, dan karya awalnya The meaning and End of Religion. Serta John  Hick[8] yang mentranformasi  pemusatan Agama munuju Pemusatan Tuhan dengan bukunya Philosopy of Religion. Dengan mengkaji pemikiran dan gagasan kedua yang mempunyai reputasi internasional ini secara kritis, menurut Anis akan terlihat cukup jelas tren teologi global ini. Apalagi keduanya mempunyai kemiripan dalam metodologi pendekatan dan kajian mereka terhadap fenomena pluralitas agama, yaitu metodologi yang dikenal luas dengan paradigm shift (pergeseran paradigma) yang dikembangkan oleh Thomas Kuhn.[9]

Wilfred menegaskan di berbagai tempat dan kesempatan bahwa isu yang paling penting , paling menantang bagi manusia abad kedua puluh adalah bagaimana mengubah masyarakat dunia yang baru saja tumbuh dan muncul, menjadi subuah komunitas dunia(a world community).[10]

Maka tugas paling besar bagi manusia modern, dalam pandangan Smith, adalah apa yang disebut universal friendship(persahabatn universal). Oleh karena itu dia memandang perlu dilakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam guna membangun sebuah teologi baru yang diharapkan mampu membrikan solusi persuasive bagi permasalah dunia ini.

Dalam kajian yang dilakukan secara sungguh-sungguh, Smith sampai apda kesimpulan yang mengagetkan dan provokativ dan melontarkan tesis “ perlunya mengkaji ulang terminology agama”. Bukunya yang berjudul The Meaning and End Of Religion, dari awal sampai akhir sengaja ditulis untuk membeberkan dan mengukuhkan tesisnya ini di atas hujjah hisoris dan empiris. Dijelaskan dalam bukunnya bahwa ia mendapati terminology agama ini sebagi hal yang sangat problematic, ambnigu, kontroversional dan mengundang polemic dan pertanyaan yang tak berujung. Dari sini ia menegaskan di bumi maupun di langit tidak ada suatu yang bernama ‘agama’.

Dalam makalah “Menengarai Implikasi Faham Pluralisme Agama”, Dr.Anis Malik Thoha menjelaskan bahwa Professor John Hick, seorang teolog dan filosof Kristen Kontemporer, memberikan definisi pluralisme agama sebagai berikut: Pluralism is the view that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness is manifestly taking place – and taking place, so far as human observation can tell, to much the same extent (John Hick dalam Problems of Religious Pluralism).

Pluralisme, menurut John Hick, adalah pandangan bahwa agama-agama besar memiliki persepsi dan konsepsi tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas yang sama.

Dalam bukunya Tren Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha menuliskan, dengan kata lain Hick ingin menegaskan bahwa semua agama sejatinya merupakan tampilan-tampilan dari realitas yang satu. Semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya, karena pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respon manusia yang berbeda terhadap sebuah realitas transenden yang satu dan sama, dan dengan demikian, semuanya merupakan “authentic manifestations of the Real.” Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah sama, dan tak ada satu pun agama yang berhak mengklaim diri “uniqueness of truth and salvation” (sebagai satu-satunya kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan).

Pemahaman John Hick ini dibangun dengan makna agama dalam perspektif sekular dan positivisme yang mengingkari perkara-perkara yang gaib dengan alasan tidak terbukti secara empiris. Karenanya, tidak mengherankan “agama”, menurut mereka, merupakan respon manusia atau “religious experience” (pengalaman keagamaan / pengalaman spiritual) dan tidak mengakui adanya wahyu agama dari Tuhan. Sehingga menurut John Hick, Sang Wujud itu tunggal, tetapi manusia memiliki persepsi bermacam-macam tentang Sang Wujud tersebut, seperti Islam menyebut Sang Wujud dengan Allah, Yahudi dengan Yahweh, Nasharani dengan trinitasnya dan lainnya.

Maka menurut Hiks, diantara solusi-solusi ini adalah hipotesis Hiks tentang pluralitas agama yang ia tuangkan dalam tesis”Tranformasi dari pemusatan agama menuju pemusatan Tuhan”.
Penutup
Mengutip perkataan  Prof. Dr. M. Amien Rais

"istilah pluralisme yang sesungguhnya indah dan anggun, justru telah ditafsirkan secara kebablasan. Sesungguhnya toleransi dan kemajemukan telah diajarkan secara baku dalam Al-Quran. Memang Al-Quran mengatakan hanya agama Islam yang diakui di sisi Allah, namun koeksistensi atau hidup berdampingan secara damai antar-umat beragama juga sangat jelas diajarkan melalui ayat, lakum diinukum waliyadin. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu. Dalam istilah yang lebih teknis, wishfull coexistent among religions, atau hidup berdamai antar umat beragama di muka bumi.

karena itu tidak ada yang salah kalau misalnya seorang Islam awam atau seorang tokoh Islam mengajak kita menghormati pluralisme. Karena tarikh Nabi sendiri itu juga penuh ajaran toleransi antarberagama. Malahan antar-umat beragama boleh melakukan kemitraan di dalam peperangan sekalipun. Banyak peristiwa di zaman Nabi ketika umat Nasrani bergabung dengan tentara Islam untuk menghalau musuh yang akan menyerang Madinah.

Saya prihatin ada usaha-usaha ingin membablaskan pluralisme yang bagus itu menjadi sebuah pendapat yang ekstrim, yaitu pada dasarnya mereka mengatakan agama itu sama saja. Mengapa sama saja? Karena tiap agama itu mencintai kebenaran. 

Dan tiap agama mendidik pemeluknya untuk memegang moral yang jelas dalam membedakan baik dan buruk. Saya kira kalau seorang muslim sudah mengatakan bahwa semua agama itu sama, maka tidak ada gunanya sholat lima waktu, bayar zakat, puasa Ramadhan, pergi haji, dan sebagainya. Karena itu agama jelas tidak sama. Kalau agama sama, banyak ayat Al-Quran yang harus dihapus.

Nah, kalau sampai ajaran bahwa “semua agama sama saja” diterima oleh kalangan muda Islam; itu artinya, mereka tidak perlu lagi sholat, tidak perlu lagi memegang tuntunan syariat Islam. Kalau sampai mereka terbuai dan terhanyutkan oleh pendapat yang sangat berbahaya ini, akhirnya mereka bisa bergonta-ganti agama dengan mudah seperti bergonta-ganti celana dalam atau kaos kaki.

Saya kira jelas sekali adanya think tank atau dapur-dapur pemikiran yang sangat tidak suka kepada agama Allah, kemudian membuat bualan yang kedengarannya enak di kuping: semua agama itu sama. Jika agama itu sama, lantas apa gunanya ada masjid, ada gereja, ada kelenteng, ada vihara, ada sinagog, dan lain sebagainya.

Kita berdoa,  semoga kita semua,   senantiasa dibimbing oleh Allah untuk dapat berpegang teguh pada kalimah Tauhid dan tidak terjerumus ke dalam paham-paham syirik dan kekufuran, meskipun paham itu dikemas dan dikemukakan dalam bahasa dan ungkapan-ungkapan yang menawan dan memukau banyak manusia. amin... Wallahu a'lam bi shawab

Daftar pustaka
Thoha, Dr. Anis Malik, Tren Pluralisme Agama, Perspektif ( kelompok Gema Insani), Jakarta, Agustus 2005.
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Libealisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, Center for Islamic and Occidental Studies, CIOS-ISID Gontor, Ponorogo, 2007.
Amal, Taufik Adnan, Masalah Keberagaman di Tengah Keberagaman, dalam Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif:70 Tahun Ahmad Syafii Maarif. Maarif Institute, 2005.
Nafis, Muhammad  Wahyuni, Referensi Historis Bagi Dialog Antar Agama, dalam Passing over, 93-94.
http://donnyreza.net/lib/INSISTS/Merespon_Globalisasi_Dengan_Pluralisme_   Agama

[1] Seorang sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala seesuatu. Men is the measure of all things.
[2] Hamid Fahmi Zarkasyi, Libealisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, Center for Islamic and Occidental Studies, CIOS-ISID Gontor, Ponorogo, 2007, p. 89.
[3] Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Perspektif ( kelompok Gema Insani), Jakarta, Agustus 2005, p. 17.
[4] Taufik Adnan Amal, Masalah Keberagaman di Tengah Keberagaman, dalam Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif:70 Tahun Ahmad Syafii Maarif. Maarif Institute, 2005. P. 71-72
[5] Muhammad  Wahyuni Nafis, Referensi Historis Bagi Dialog Antar Agama, dalam Passing over, 93-94.
[6] Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Perspektif ( kelompok Gema Insani), Jakarta, Agustus 2005, p. 70.
[7] Ia lahir di Toronto, Kanada, tahun 1916. Ia adalah seorang professor Ilmu Perbandingan Agama sekaligus Direktur Intitute of Islamic Studies di McGill University, Montreal, Kanada, sejak awal berdirinya tahun 1952. Ia pernah tinggal di Amerika Selatan, Eropa, dan Timur Dekat. Ia belajar teologi di Westminsiter College, Cambridge, dan meraih gelar doctor dalam kajian dunia Timur(oriental studies) di Princenton University. Karyanya antara lain: Islam in Modern History, Islam in India, The meaning and End of Religon, The faith of other men, Belief and History, Faith and Belief, To ward the word Theology(Faith and The Comparative History of Religion).
[8] Ia adalah seorang teolog dan filsuf agama, lahir di Yorkshire, Englad 1922. Mendapatkan gelar doktor di Oxford dan Edinburgh, doktor honoraris dari Uppsala University dan Glagow University. Ia adalah guru besar di Brimingham University UK, dan Claremont graduate University California.
[9] Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Perspektif ( kelompok Gema Insani), Jakarta, Agustus 2005, p. 70.
[10] Ibid, p. 71.

1 komentar:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus