Oleh:
Imam Kamaluddin
Satelit
Palapa yang sekarang sudah dibeli Temasek Singapura, adalah pulau Indonesia di
angkasa yang dengannya kekuatan asing
dapat menjajah ekonomi Indonesia di daratan, lautan dan angkasa Indonesia,
bahkan politik dan dalam-batas tertentu pertahanan keamanan
.
Di
Indonesia sekarang sedang gencar terjadi state capture corruption, karupsi yang
dilakukan negara sendiri, karena oleh pemerintah yang sedang berkuasa, negara
digadaikan pada kekuatan korporasi asing. Apalagi Indonesia samapai sekarang
masih termasuk dalam kelompok sembilan negara terkorup di dunia bersama Haiti,
Myanmar, Iraq, Guinea, Sudan, Congo, Chad, dan Bangladesh.
UU
na 10/1998 menjamin pihak asing bisa memiliki hingga 99% saham bank di
Indonesia. Ini lebih tinggi dari komitmen Indonesia di WTO yang pada awalnya
adalah 49% lalu dinaikkan menjadi 51%. Indonesia lebih liberal dari
negara-negara AS, Canada, Australia, Singapura, dll, yang menetapkan dengan
ketat kepemilikan asing dalam sektor perbankan. Indonesia juga paling ”ngawur”
di anatara negara-negara Asia lainnya. Akibatnya, saat ini 6 dari 10 bank
terbesar di Indonesia sudah dimiliki pihak asing. Hebatnya lagi, mereka
bisa membeli bank-bank tersebut dengan harga hanya 8-12% dari total biaya
rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan yang dikeluarkan oleh negara.
UU
no 19/2003 tentang BUMN adalah UU yang pertama di Indonesia yang memberikan
landasan hukum eksplisit terhadap pelaksanaan privatisasi. Tapi sayangnya yang terjadi adalah
privatisasi untuk menutup defisit, sehingga yang terjadi adalah mirip petani
yang menjual tanahnya karena terlilit hutang, akibatnya si petani semakin
miskin karena kehilangan modal utamanya.
Dari
sekitar satu juta barrel perhari
produksi minyak nasional, hanya 109 ribu barrel yang diproduksi Pertamina,
Medco 75 ribu barrel, dan sisanya dikuasai produsen-produsen asing. 90% dari
120 kontrak production sharing dikuasai oleh korporasi asing.
Indosat dimiliki Temasek, 35% saham Telkom
juga, dan 98% saham XL juga milik asing, industri otomotif juga dikuasai asing,
Perjanjian Kerjasama Pertahanan (DCA) dengan Singapura juga tekah merugikan
Perhanan Keamanan Indonesia, bahkan dalam UU
no, 25/2007 tentang penanaman modal, pemerintah akan memberikan perlakuan
yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun. Tidak
ada perbedaan sama sekali antara pribumi dan asing. Bahkan pada pasal 7 ayat 1
disebutkan ”pemerintah tidak akan melakukan tindkan nasionalisasi atau
pengambilan hak penenaman modal, kecuali degan undang-undang”. Jika
nasianalisasi dilakukan, pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumahnya
ditetapkan berdasarkan harga pasar (ayat 2). Jika antara pemerintah dan penanam
modal tidak tercapai kesepakatan, penyelesaian dilakukan melalui arbitrase.
(hal ini menjadikan nasionalisasi mustahil dilakukan, terhadap indosat
misalnya).
Dalam
Peraturan presiden no. 77/2007, pada bagian c disebutkan, batas kepemilikan
modal asing dalam sektor: Energi dan Sumber Daya Mineral 95%, Pembangkit Tenaga
Listrik 95%, Jasa Pengeboran Minyak di lepas pantai Indonesia Timur 95%,
Tranmisi Tenaga Listrik 95%, Distribusi Tenaga Listrik 95%, Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir 95%, Jasa Pengeboran Minyak dan Gas Bumi di Darat 95%,
Pengembangan Tenaga Peralatan Penyediaan Listrik 95%, dan lain-lain.
Asing
juga diperbolehkan memiliki 49% saham bidang-bidang Pendidikan Dasar dan
Menengah, Pendidikan Tinggi dan Pendidikan Non Formal.
Prosentase
royalti dari Freeport, 1%-3,5% untuk tembaga, dan 1% flat fix untuk emas dan
perak dari penjualan bersih. Amat sangat kecil sekali. Apalagi besarnya iuran
lahan hanya sekitar Rp. 225,00 – Rp. 27.000,- perhektar pertahun.
Menurut
Revrisond Baswir, banyak UU di negara kita ini merupakan pesanan kartel
neokolonial. ”Undang-undang kita itu kebanayakan mereka yang membuat. Misalnya
UU Migas, di situ jelas peran World Bank; UU BUMN di situ memainkan peran Price
Waterhouse Copoper; UU Kelistrikan disitu berperan ADB. Nah, mereka-mereka
itulah yang bermain”. wallahu a'lam bi showab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar