Kalau
jasmani seseorang dapat menjadi kuat disebabkan latihan fisik, maka puasa dapat
memperkuat jiwa. Pada diri seseorang yang berpuasa, suplai bahan makanan dan
minuman yang merupakan bahan bakar aktifitas kehidupan manusia berkurang
sehingga pembuluh-pembuluh darah menyempit. Seiring dengan menyempitnya
pembuluh-pembuluh darah itu berarti menyempit pula tempat aliran setan dalam
tubuh.
Keadaan
seperti ini akan membuat nafsu syahwat terpenjara (dari hubungan sex atau
persetubuhan) dan memenangkan anggota badannya dengan cara yang menakjubkan.
Inilah hakikat puasa. Dengan demikian puasa adalah perisai dari serangan nafsu
syahwat bagi orang-orang yang bertaqwa.
Puasa
memiliki dua keutamaan khusus yang tidak ditemukan pada ibadah badan lainnya,
yaitu:
1. Puasa
merupakan amal tersembunyi. Pada umumnya orang lain tidak mengetahuinya dan
kemungkinan besar sedikit tercampur dengan unsur riya’.
2.
Puasa sebagai benteng bagi orang-orang yang bertaqwa dari musuh Allah yaitu
setan yang jalannya dalam rangka menguasai manusia adalah hawa nafsu syahwat.
Allah
berfirman dalam hadits qudsi tentang keutamaan puasa:
اَلصَّوْمُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ. (رواه البخاري
٣/٣، ٩/١٧٥ ومسلم ٣/١٥٧-١٥٨(
Puasa
itu untukKu dan Aku yang akan membalasnya. (HR. Bukhari 3/3, 9/175 dan Muslim
157-158)
Sebenarnya
cukuplah satu hadits qudsi yang mulia itu menunjukkan keutamaannya.
Akan
tetapi orang-orang yang berpuasa itu berbeda dan bertingkat-tingkat dalam hal
mendapatkan pahala dan keutamaannya.
Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ
وَالْعَطَشُ. (رواه ابن ماجه ١/٥٣٩ والدارمي ٢/٢١ وأحمد ٢/٤٤٦، ٣٧٣ والبيهقي ٤/٢٧٠
من طرق سعيد المقبري عن أبي هريرة(
Berapa
banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan dari puasanya selain dari rasa
lapar dan dahaga. (HR. Ibnu Majah 1/539, Ad-Darimi 2/21, Ahmad 2/446, 373 dan
Al-Baihaqi 4/270 dari jalan Sa'id Al-Muqbiri dari Abu Hurairah radliyallahu
'anhu)
Hal
ini terjadi disebabkan orang yang berpuasa tidak mengerti hakekat puasa
sehingga tidak melaksanakannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan
Rasul-Nya dan puasanya tidak mendatangkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga.
Dalam
kaitan ini kami kutipkan fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh
Fauzan yang berhubungan dengan puasa berupa tanya jawab sekitar puasa dan
Ramadlan. Semoga bermanfaat.
Fatwa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab beliau Haqiqatus Shiyam
hal. 87-100:
Tanya:
Beberapa
orang melakukan safar (bepergian) pada bulan Ramadlan. Dalam rombongan itu ada
yang berbuka dan ada yang berpuasa. Di antara yang berbuka mengejek yang
berpuasa dengan alasan bahwa berbuka itu lebih utama. Pertanyaan: Berapakah
jarak boleh mengqashar shalat? Apakah bila seseorang safar pada suatu hari
boleh berbuka puasa? Apakah perbedaan safar maksiat dan safar ketaatan kepada
Allah?
Jawab:
Menurut
kesepakatan kaum muslimin (ulama) berbuka puasa diperbolehkan bagi musafir jika
safar itu bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya seperti
haji, jihad, berdagang, dan yang semisalnya. Para ulama masih bersilang
pendapat bila safarnya untuk bermaksiat pada Allah seperti safar dengan niat
merampok.
Orang
yang safar boleh mengqashar shalat dan berbuka puasa menurut kesepakatan ulama
meskipun tidak merasa haus dan lapar, baik tersedia makanan minuman atau tidak.
Orang yang mengatakan bahwa orang yang safar tidak boleh berbuka kecuali yang
lemah untuk berpuasa, maka orang tersebut diminta bertaubat. Jika tidak
bertaubat, maka dibunuh. Begitu pula orang yang mengingkari orang yang berbuka
(ketika safar), maka dia diminta untuk bertaubat dari pendapatnya itu.
Juga
orang yang mengatakan bahwa orang yang berbuka (ketika safar) itu berdosa, ia
harus bertaubat dari ucapannya itu. Karena semua itu bertentangan dengan
Kitabullah, sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan ijma' umat.
Menurut
pendapat imam yang empat, Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan Imam
Ahmad, bagi musafir diperbolehkan mengqashar shalat yang empat rakaat dan hal
ini lebih afdhal.
Para
ulama tidak bersilang pendapat dalam hal pembolehan berbuka puasa bagi musafir.
Sedangkan yang masih diperselisihkan justru pembolehan berpuasa bagi musafir.
Sekelompok ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa orang yang sedang safar
harus berbuka, bahkan tidak diperbolehkan berpuasa sehingga meskipun ia
berpuasa tetap wajib mengqadlanya. Pendapat ini dipegang oleh Abdurrahman bin
'Auf, Abu Hurairah, dan lain-lain radliyallahu 'anhum. Sebagaimana pula madzhab
Dhahiri. Mereka berdalil dengan hadits:
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ.
Tidak
termasuk kebaikan puasa dalam safar (bepergian). (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan
madzhab yang empat membolehkan puasa bagi musafir dengan dasar ucapan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dari Anas radliyallahu 'anhu:
كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
فِيْ رَمَضَانَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلاَ الْمُفْطِرُ عَلَى
الصَّائِمِ. (رواه البخاري)
Kami
pernah bepergian bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka yang berpuasa
tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa. (HR.
Bukhari)
Hal
ini karena mereka memahami firman Allah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
﴿البقرة: ١٨٥﴾
(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara hak dan bathil). Karena itu
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka) (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur. (Al-Baqarah: 185)
Adapun
ukuran safar yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat dan berbuka puasa
menurut Imam Ahmad dan Syafi'i adalah jarak perjalanan dua hari dengan
kendaraan unta atau jalan kaki sejauh lebih kurang 16 farsakh (satu farsakh
lebih kurang 8 km –pent) seperti jarak antara Mekah-Ashfahan atau Mekah-Jedah.
Sedangkan Abu Hanifah dan kelompok ulama salaf dan khalaf lainnya menentukan
jarak perjalanan 3 hari.
Menurut
pendapat yang paling kuat adalah boleh berbuka dan menqashar shalat pada
bepergian kurang dari dua hari[1]. Disebutkan dalam hadits bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam mengqashar shalat ketika di Arafah dan Muzdalifah
serta Mina yang diikuti oleh penduduk Mekah dan beliau tidak memerintahkan
mereka menyempurnakan shalat mereka.
Tanya:
Apakah
seorang safar pada pertengahan hari boleh berbuka?
Jawab:
Ada
dua pendapat yang masyhur mengenai masalah ini. Keduanya dari Imam Ahmad. Yang
paling benar adalah seseorang diperbolehkan berbuka ketika safar di pertengahan
hari (sebelumnya ia berpuasa –pent). Sebagaimana hal ini tertera dalam
kitab-kitab Sunan. Para shahabat berbuka bila keluar safar pada pertengahan
hari dan disebutkan bahwa yang demikian itu sunnah yang dikerjakan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam berniat puasa waktu safar. Kemudian beliau dijamu
dan beliau makan. Para shahabat melihat beliau.
Sedangkan
apabila seorang tiba di tempat tujuan pada pertengahan hari, para ulama masih
berselisih pendapat dalam menentukan kewajiban berpuasa. Akan tetapi dia wajib
mengqadla baik berpuasa atau tidak. Orang yang sering bepergian ke suatu tempat
tertentu boleh berbuka seperti pedagang yang pergi ke kota lain, tukang pos
yang bepergian untuk kemaslahatan kaum muslimin dan lain-lain. Sedangkan orang
yang bepergian jauh dengan naik kapal besar ditemani istrinya, membawa
perbekalan lengkap dan dia terus-menerus demikian maka dia tidak boleh
mengqashar shalat maupun berbuka puasa.
Orang-orang
pedalaman seperti Badui Arab, Turki dan selainnya yang bermukim pada musim panas
di suatu tempat, bila mereka dalam perjalanan dari tempat musim dingin ke
tempat musim panas atau sebaliknya, maka boleh mengqashar shalat. Sedangkan
bila telah singgah di tempat musim dingin atau tempat musim panas tidak boleh
berbuka dan mengqashar shalat.
Tanya:
Ada
seorang yang safar di bulan Ramadlan tidak merasa lapar, haus maupun lelah.
Apakah yang lebih utama baginya puasa atau tidak?
Jawab:
Menurut
ijma' ia lebih utama berbuka meskipun dia tidak merasa berat dan berpuasa juga
diperbolehkan. Walaupun ada sebagian ulama mengatakan tidak berpahala bila ia
puasa.
Tanya:
Ada
seorang imam masjid bermadzhab Hanafi menyebutkan bahwa dia membaca kitab bahwa
bila seseorang berpuasa di bulan Ramadlan tidak berniat pada akhir waktu isya'
atau sahur maka puasanya tidak berpahala. Apakah pendapat ini dibenarkan?
Jawab:
Setiap
muslim yang mengetahui bahwa puasa Ramadlan itu wajib hukumnya, ia tentu
berpuasa bulan itu dengan niat. Bila ia tahu besok akan puasa haruslah ia
meniatkan puasa. Niat itu tempatnya di hati. Setiap orang akan mengetahui apa
yang ia inginkan mesti meniatkannya dengan dilafalkan atau tidak. Melafalkan
niat bukan wajib menurut ijma' kaum muslimin. Keumuman kaum muslimin berpuasa
dengan diiringi niat.
Yang
menjadi perselisihan adalah pengkhususan (ta'yin) niat untuk bulan Ramadlan,
apakah hal ini wajib atau tidak?
Ada
tiga pendapat dalam madzhab Imam Ahmad: Pertama, tidak cukup niat mutlak[2],
harus meniatkan puasa Ramadlan. Kedua, boleh secara mutlak seperti pendapat Abu
Hanifah. Ketiga, cukup secara mutlak tidak dengan niat tertentu (ta'yin) selain
niat puasa Ramadlan. Riwayat yang ketiga ini dari Ahmad dipilih oleh Al-Hiraqi
dan Abul Barkat. Maka saya katakan bahwa orang yang mengetahui keinginannya
mesti akan berniat. Bila ia tahu besok Ramadlan maka ia akan menta'yin
(menentukan niatnya) artinya tidak cukup berniat secara mutlak karena Allah
ta'ala memerintahkannya niat menunaikan kewajibannya yaitu puasa bulan
Ramadlan. Maka bila ia tidak melakukan berarti belum terbebas dari kewajiban.
Adapun
bila seseorang tidak mengetahui bahwa besok bulan Ramadlan tidak wajib atasnya
ta'yin dan barangsiapa mewajibkan ta'yin tanpa ia mengetahui yang dita'yin
sungguh berarti ia mewajibkan dua perkara yang berlawanan. Berpuasa dengan cara
seperti itu, yaitu dengan niat mutlak, cukup baginya. Apabila berpuasa dengan
cara seperti itu diniatkan puasa sunnah lalu diketahui bahwa hari itu adalah
bulan Ramadlan, maka yang lebih mendekati kebenaran adalah cukup baginya niat
mutlak tersebut. Seperti seorang yang dititipi barang atau uang miliknya
sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa titipan itu miliknya lalu ia
sedekahkan pada orang lain. Lalu tak lama kemudian ia mengetahui bahwa ternyata
titipan itu miliknya, maka ia tidak perlu menyerahkan barang itu kedua kalinya,
tetapi ia hendaknya mengatakan: Titipan yang kuberikan padamu itu adalah
milikku. Dan riwayat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad menyatakan bahwa manusia
itu mengikuti niat imamnya yaitu bahwa berbuka atau berpuasa ditentukan oleh
ulama. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ
تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ.
Puasa
kalian adalah hari kalian berpuasa, Idul Fithri kalian adalah hari kalian
berbuka (tidak berpuasa) dan Idul Adlha adalah hari kalian menyembelih[3]. (HR.
Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Beliau mengatakan: Hadits ini
hasan gharib. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Ash-Shahihah no.
hadits 224 dan Al-Irwa no. hadits 905)
Tanya:
Apakah
seseorang yang berpuasa bulan Ramadlan memerlukan niat tiap hari atau tidak?
Jawab:
Setiap
orang yang mengetahui bahwa besok Ramadlan dan dia menginginkan puasa maka dia
pasti telah berniat, baik dilafalkan atau tidak. Hal ini merupakan perbuatan
kebanyakan kaum muslimin.
Tanya:
Apakah
seseorang diperbolehkan berbuka puasa dengan semata melihat terbenamnya
matahari?
Jawab:
Bila
seorang telah melihat hilang seluruh bulatan matahari maka ia harus berbuka
tanpa menghiraukan masih ada warna merah yang tampak di ufuk barat. Yaitu
ketika seluruh bulatan matahari telah hilang dan langit bagian timur akan
tampak hitam. Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam katakan:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ
مِنْ هَهُنَا وَغُرِبَتِ الشَمْسُ مِنْ هَهُنَا فَقَدْ أَفَطَرَ الصَّائِمُ.
Apabila
malam telah datang dari sini dan siang telah menghilang dari sini serta
matahari telah terbenam dari sini (barat) maka berbukalah orang yang berpuasa.
(HR. Bukhari 4/171 dan Muslim no. 1100)
Tanya:
Bolehkah
makan sahur setelah adzan subuh pada bulan Ramadlan?
Jawab:
Bila
muadzin adzan sebelum terbit fajar sebagaimana adzan pertama Bilal pada jaman
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Damaskus, maka seorang boleh makan dan
minum beberapa saat setelah adzan itu. Apabila ia ragu apakah sudah terbit
fajar atau belum maka hendaknya ia makan dan minum hingga tampak jelas terbit
fajar. Walaupun setelah itu ia tahu bahwa makan setelah terbit fajar masih
diperselisihkan para ulama tentang wajib qadla` baginya.
Pendapat
yang paling benar adalah tidak diwajibkan mengqadla`. Riwayat ini adalah
riwayat dari Umar, sekelompok ulama salaf dan khalaf. Sedangkan menurut
pendapat ahli fiqih yang empat, wajib qadla` atasnya.
Tanya:
Ada
seorang yang pingsan setiap kali berpuasa, pilek dan mulutnya berbuih terus-menerus
sampai berhari-hari belum sadar hingga dikira gila dan tidak jelas keadaannya,
bagaimana tentang hal ini?
Jawab:
Apabila
puasanya menyebabkan ia sakit seperti itu maka hendaknya ia berbuka dan
mengqadla`. Bila hal ini terus menimpanya tiap kali ia berpuasa dan dia tidak
mampu untuk puasa maka ia harus memberi makan tiap hari seorang miskin.
Tanya:
Seorang
perempuan hamil melihat darah serupa haidl dan darah haidl. Para bidan
memutuskan ia harus berbuka karena untuk memberi makan janin yang dikandungnya
tetapi wanita itu tidak sakit, apakah ia boleh berbuka atau tidak?
Jawab:
Bila
wanita hamil itu mengkhawatirkan keadaan janinnya maka ia wajib berbuka dan
wajib mengqadla` serta memberi makan tiap hari satu orang miskin 1 liter roti
dan lauknya.
Fatwa
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah bin Al-Fauzan (anggota Kibaril Ulama Arab
Saudi) dalam kitab Nur 'ala Darbi Fatawa hal. 73-81:
Tanya:
Apakah
hukum bersiwak pada bulan Ramadlan?
Jawab:
Tidak
diragukan lagi bahwa siwak merupakan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
yang dianjurkan pelaksanaannya. Banyak keutamaan bersiwak. Bersiwak pernah
dilakukan maupun diperintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bersiwak
sangat baik terutama pada tempat-tempat yang dibutuhkan seperti sebelum wudlu,
ketika akan shalat, ketika membaca Al-Qur`an, ketika bau mulut mulai berubah,
ketika bangun tidur sebagaimana biasa dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Bersiwak
disunnahkan pada semua waktu termasuk waktu Ramadlan. Yang benar adalah seseorang
disunnahkan bersiwak tiap hari di bulan Ramadlan pada pagi hari dan sore dan
tidak benar anggapan bahwa seseorang disunnahkan hanya bersiwak pada sore hari
saja. Bahkan para shahabat melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersiwak terus menerus sampai tak terhitung jumlahnya dalam keadaan berpuasa.
Maka bersiwak itu hukumnya sunnah, boleh dikerjakan oleh yang berpuasa ataupun
tidak berpuasa. Akan tetapi dalam hal ini seorang harus berhati-hati ketika
menggosok gigi dengan miswak (alat siwak) agar tidak melukai gusi yang dapat
mengakibatkan pendarahan.
Tanya:
Apakah
seorang yang berpuasa qadla` dan puasa sunnah boleh memutuskan puasanya?
Jawab:
Apabila
ia berpuasa qadla` tidak boleh memutuskannya dan wajib menyempurnakannya.
Adapun bila ia berpuasa sunnah boleh memutuskan puasanya itu, tidak ada
kewajiban menyempurnakan puasa sunnah. Pernah suatu hari Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam masuk rumah dalam keadaan puasa sunnah lalu menjumpai makanan
yang dihadiahkan para shahabat lalu beliau makan (dan memutus puasanya). Hal
ini menunjukkan bahwa puasa sunnah tidak wajib disempurnakan.
Tanya:
Apabila
seorang berpuasa suatu hari kemudian ia safar pada pertengahan hari apakah ia
berbuka pada hari itu?
Jawab:
Bila
seseorang berniat puasa dan telah mengerjakannya lalu bepergian pada
pertengahan hari maka hendaknya ia berbuka jika jarak perjalanan dari rumah ke
tempat tujuan kurang lebih 80 km. Akan tetapi kalau ia mau menyempurnakannya
maka lebih afdlal sebab sebagian ulama ada yang mewajibkan menyempurnakan puasa
model ini.
Tanya:
Apakah
keutamaan hari-hari 10 akhir bulan Ramadlan?
Jawab:
Hari-hari
ini memiliki keutamaan yang besar dan agung. Pada hari-hari itu Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah
dibandingkan malam-malam sebelumnya. Beliau melakukan i'tikaf pada malam akhir
Ramadlan dan tidak keluar dari masjid selain menunaikan hajatnya. Banyak kaum
muslimin mengharapkan menjumpai malam lailatul qadar pada 10 hari terakhir
bulan mubarak itu.
Tanya:
Apakah
keutamaan bersedekah pada bulan Ramadlan?
Jawab:
Bersedekah
pada bulan Ramadlan lebih utama (afdlal) daripada bersedekah pada bulan-bulan
lainnya. Pada bulan itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam sangat dermawan,
sangat mudah mengeluarkan sedekah ibarat angin yang bertiup kencang.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan dan lebih
dermawan pada bulan Ramadlan ketika Jibril menemuinya untuk mengajari Al-Qur`an
pada setiap malam pada bulan itu. Kedermawanan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam pada saat itu lebih baik daripada angin sepoi-sepoi (angin yang
bertiup terus-menerus dan bermanfaat).[4] (HR. Bukhari dengan 1/30 Fath dan
Muslim no. 2307). Dalil ini menunjukkan keutamaan sedekah bulan Ramadlan di
mana pada bulan ini banyak orang yang miskin berpuasa. Bila seorang berbuat
baik kepada mereka berarti ia membantu ketaatan kepada Allah terhadap mereka.
Amal itu dilipatkan pahalanya karena kemuliaan waktu dan tempatnya (berdasarkan
nash -pent) sebagaimana amal-amal dilipatkan pahalanya pada dua masjid Mekah
dan Madinah (masjid Nabawi) yaitu shalat di dua masjid tersebut berpahala 1000
kali lipat dibanding shalat di tempat lainnya.
Tanya:
Bagaimana
keterangan tentang keutamaan lailatul qadr dan ayat-ayat yang menerangkannya!
Jawab:
Allah
memuliakan keadaan malam itu dan menamakannya lailatul qadr karena pada malam
itu ditentukan ajal, rezki seorang makhluk dan apa-apa yang akan terjadi dalam
satu tahun. Allah berfirman: "Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang
penuh hikmah." (Ad-Dukhan: 4). Disebut juga lailatul qadr karena dia
adalah malam yang ditentukan dan dimuliakan di sisi-Nya. Juga disebut malam
lailatul mubarak (malam yang diberkahi). Allah berfirman: "Kami
menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam penuh barakah." (44:33). "Dan
tahukah kamu apakah malam lailatul qadr itu. Lailatul qadr lebih baik daripada
1000 bulan." (Al-Qadr: 2-3). Artinya beramal pada malam yang penuh berkah
itu dilipatgandakan pahalanya semisal 1000 bulan beramal pada malam-malam
selain bulan ini. Seribu bulan lebih kurang 83 tahun. Ayat ini menunjukkan
tentang keutamaannya oleh karena itu beliau selalu menunggu-nunggu datangnya
malam itu. Beliau bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ.
Barangsiapa
berdiri (shalat) pada malam lailatul qadr dengan mempercayai adanya malam itu
dan mengharap pahalanya maka akan diampuni dosanya yang telah lewat dan yang
akan datang. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu).
Hal
lain yang juga menunjukkan keutamaan dan kebesarannya ialah pada malam itu
turun para malaikat dan Jibril (pemimpin para malaikat) untuk mengatur segala
urusan. Malaikat-malaikat Allah tidak turun ke bumi kecuali untuk menyelesaikan
urusan besar. Kemudian Allah mensifati malam tersebut dengan malam yang penuh
kesejahteraan sampai fajar. Maka barangsiapa tidak mendapatkan kebaikan pada
malam itu, sungguh Allah tidak memberinya kebaikan yang banyak.
Allah
dengan hikmah-Nya yang maha luas merahasiakan malam itu pada bulan Ramadlan
agar kaum muslimin bersungguh-sungguh mencarinya pada tiap malam. Sehingga
mereka mempunyai banyak amal dan terkumpullah amal-amal pada semua malam bulan
itu dengan malam lailatul qadr.
Tanya:
Apakah
makna ayat "... tetapi janganlah kamu campuri para istri itu sedang kamu
beri'tikaf." (Al-Baqarah: 187)
Jawab:
Allah
melarang mencampuri istri dalam keadaan i'tikaf di masjid setelah membolehkan
mencampurinya pada bulan Ramadlan. Orang-orang yang beri'tikaf tidak boleh
mencampuri istri-istrinya, baik dengan jimak maupun mubasyarah[5], baik pada
malam atau siang hari jika orang yang beri'tikaf itu tidak berpuasa. Karena
makna i'tikaf secara bahasa ialah meninggalkan perkara-perkara yang banyak dan meluangkan
waktu untuk beribadah. Apabila seseorang mencampuri istrinya maka batallah
i'tikafnya. Demikian pula bila ia keluar masjid tanpa ada kebutuhan mendesak
juga membatalkan i'tikaf. Seperti pergi ke pasar dan lainnya.
Ayat
di atas menunjukkan bahwa i'tikaf itu harus diadakan di masjid yang dipakai
untuk shalat berjama'ah dan memiliki imam rawatib. Tidak boleh i'tikaf
menyendiri di mushalla, rumah atau tanah lapang atau masjid yang tidak
ditegakkan shalat jama'ah. Orang yang beri'tikaf di masjid yang tidak
ditegakkan shalat jama'ah di dalamnya berada di antara dua keadaan yaitu antara
i'tikaf dan meninggalkan shalat jama'ah. Bila ia tetap di dalam masjid berarti
ia meninggalkan shalat berjama'ah padahal shalat berjama'ah wajib hukumnya.
Atau ia keluar dari masjid untuk shalat berjama'ah di masjid yang didirikan
shalat jama'ah tiap shalat 5 waktu yang hal ini menghilangkan makna i'tikaf.
Maka i'tikaf harus diadakan di masjid-masjid yang didirikan padanya shalat
jama'ah karena lafadh ayat menyebutkan fil masajid (di masjid-masjid).
I'tikaf
disebutkan pada akhir-akhir ayat puasa i'tikaf seharusnya dan lebih baik
dilakukan ketika seorang dalam keadaan berpuasa dan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak i'tikaf selain bulan Ramadlan yakni ketika puasa.
Tanya:
Saya
seorang pemuda yang pernah tidak melaksanakan puasa tahun yang lalu sedangkan
puasa tahun berikutnya saya berpuasa dengan sempurna. Bagaimana saya mengqadla`
puasa pada bulan yang aku tinggalkan? Apakah saya harus berpuasa tiap bulan
atau memberi makan 60 orang miskin? Aku ingin berpuasa tahun ini selama tiga
bulan apakah hal itu dibenarkan? Bagaimana cara melaksanakannya dengan
bersambung atau terputus (berselang-seling)?
Jawab:
Jawaban
dari pertanyaan anda perlu perincian. Yaitu jika anda meninggalkan puasa itu
karena meninggalkan shalat (meninggalkan shalat menurut beliau kafir -pent)
maka anda tidak berkewajiban mengqadla` puasa yang telah anda tinggalkan.
Karena waktu itu anda belum masuk Islam. Adapun setelah anda bertaubat yakni
setelah melaksanakan shalat maka anda wajib mengqadla` puasa dan menunaikan
seluruh syi'ar Islam yang diwajibkan. Bila anda menunda mengqadla` puasa tanpa
udzur maka anda wajib memberi makan seorang miskin tiap hari sebagai ganti
puasa yang anda tunda qadla`nya itu. Apabila anda tunda qadla` puasa karena ada
udzur hingga datang Ramadlan berikutnya maka anda wajib mengqadla`nya setelah
Ramadlan.
Tanya:
Apa
hukum bercelak, memakai parfum bagi seorang muslimah pada bulan Ramadlan?
Jawab:
Adapun
celak, obat tetes mata dan apa-apa yang diletakkan di mata bagi orang yang
berpuasa terkadang dapat masuk ke tenggorokan sehingga membatalkan puasanya.
Sebagian ulama melarang memakai celak bagi orang yang berpuasa atau meletakkan
sesuatu pada matanya seperti obat tetes mata, karena hal ini bisa menembus mata
hingga ke tenggorokan tanpa disadarinya. Sedangkan harum-haruman, kosmetik yang
biasa dipakai wanita tidak membatalkan puasa. Namun bagi muslimah hendaknya
memakai harum-haruman atau parfum dan kosmetik di dalam rumah saja dan menjauhi
benda-benda itu untuk dipakai di luar rumah. Bahkan ia harus menutup wajahnya
bila keluar rumah. Allah berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ.... ﴿الأحزاب: ٣٣﴾
Dan
hendaklah kamu (para wanita muslimah) tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah
kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu
dan tunaikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
(Al-Ahzab: 33).
Walaupun
wanita itu keluar menuju masjid untuk beribadah tetap dilarang bertabaruj
(berhias) dan memakai parfum. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ
اللهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَفَلاَتٍ.
Janganlah
kamu mencegah wanita-wanita menuju masjid Allah dan hendaklah mereka keluar
tanpa berhias dan berharum-haruman. (Mutafaq 'alaihi; lihat Umdatul Ahkam,
hadits no. 58, hal. 31)
Syarat
mereka boleh keluar menuju masjid adalah tidak berhias dan tidak memakai parfum
atau wangi-wangian. Kaum muslimah sekarang banyak melakukan perbuatan melanggar
syariat Allah, keluar rumah dengan berhias, membuka aurat dan wajah, memakai
parfum dan celak mata yang tidak dilakukannya ketika di dalam rumah (untuk
suaminya, pent).
[1]
Yakni kembali pada makna safar secara umum.
[2]
Niat mutlak adalah meniatkan berpuasa tanpa menentukan puasa apa yang ia
lakukan. Sedangkan niat ta'yin adalah meniatkan dengan detail puasa apa yang ia
akan lakukan esok harinya, wajib atau sunnah, puasa ramadlan atau qadla atau
nadzar dan lain-lain.
[3]
Maksudnya puasa dan berbuka bersama kebanyakan kaum muslimin.
[4]
Bahjatun Nadhirin, Syaikh Salim Al-Hilali.
[5]
Mubasyarah bermakna dua yaitu mempergauli isteri dengan jimak dan mempergauli
isteri tanpa jimak dengan menutupkan kain di atas farjinya yang meskipun suami
mengeluarkan mani, tidak membatalkan puasa. Sebagaimana keterangan Aisyah
radliyallahu 'anha ketika seorang bertanya tentang mubasyarah:
مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ اِمْرَأَتِهِ صَائِمًا؟
قَالَتْ: كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ الْجِمَاعَ.
"Apa
yang boleh dilakukan seorang yang berpuasa terhadap istrinya?" Beliau
menjawab: "Semuanya boleh dilakukan selain jimak.(Jimak atau jima' adalah
hubungan seks/sex atau bersetubuh/persetubuhan,red)" (HR Abdur Razak dalam
bukunya Al-Mushanaf 4/190/8439 dengan sanad shahih)
Akan
tetapi hendaknya yang perlu diperhatikan bahwa keluarnya mani (tanpa jimak)
tidak membatalkan puasa dan mubasyarah itu perkara lain. Kita tidak
menganjurkan orang yang berpuasa Ramadlan ketika syahwat jimak sedang memuncak
untuk mubasyarah dengan istrinya. Hal ini dikhawatirkan ia akan terjerumus ke
dalam larangan (yakni berjimak –pent). Biasanya orang yang mendekati daerah
terlarang akan memasukinya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَامَى حَوْلَ الحِمَى أَوْشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ.
Barangsiapa
berada di sekitar daerah penjagaan, dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya.
(Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani hal. 420).
Wallahu
a'lam.
(Dikutip
dari Majalah Salafy edisi XXIII/Ramadlan/1418 H/1998 M, penulis Ustadz Ahmad
Hamdani, judul asli Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar