“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” (Q.s. al-Mulk: 2).
Allah menyuruh manusia memperhatikan fakta bahwa kehidupan dunia ini adalah saat ujian. Memang, peristiwa-peristiwa yang kelihatannya baik atau tidak baik dalam kehidupan ini penting dalam menyingkap watak aslinya seseorang. Bencana, secara khusus, akan menyingkap derajat keikhlasan seseorang.
Salah satu kualitas paling mencolok dari orang-orang beriman ialah karakter mereka yang stabil. Baik di saat sejahtera atau susah, mereka memperlihatkan semangat dan keikhlasan yang sama. Ini timbul dari persepsi yang unik tentang konsep “kesulitan”, karena mereka menganggap saat-saat sulit sebagai kesempatan untuk membuktikan ketaatan kepada Allah dan kekuatan imannya.
Mereka mengakui bahwa saat-saat sulit adalah situasi khusus yang diciptakan oleh Allah untuk membedakan antara “mereka yang dalam hatinya ada penyakit” dan “mereka yang tulus ikhlas dalam beriman kepada-Nya.” Dalam menghadapi apa pun, mereka menampakkan ketegaran dan bertawakal kepada Allah sesuai perintah-Nya:
“Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik” (Q.s. al-Ma‘arij: 5).
Al-Qur’an juga menyatakan:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya.” (Q.s. al-Baqarah: 286). Wallahu alam bi shawab
Orang beriman merasa aman dan nyaman karena tahu bahwa Allah tidak membebani mereka melebihi apa yang dapat mereka tanggung. Dalam menghadapi kesusahan, mereka ingat bahwa ini adalah kejadian yang akan dapat mereka atasi, dan karena itu mereka menghadapinya dengan sabar. Maka, tak peduli betapapun berat penderitaan, mereka berusaha untuk menunjukkan sikap berserah diri kepada Allah.
Di samping itu, mereka tahu bahwa penderitaan-penderitaan telah menimpa orang-orang beriman di masa lalu, dan bahwa cobaan yang dihadapi orang di masa lalu akan mereka hadapi juga. Seseorang beriman sadar akan fakta ini, siap sejak lama sebelum dia benar-benar menghadapi kesulitan; dia telah bertekad bahwa dia akan tetap setia kepada Tuhannya, dan dengan demikian, bertekad untuk menunjukkan kesabaran dan tawakal kepada Allah dalam keadaan apa pun.
“Dan sesunguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah dahulu bahwa mereka tidak akan berbalik ke belakang. Dan adalah perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungjawabannya.” (Q.s. al-Ahzab: 15).
Seorang beriman memenuhi janjinya kepada Allah. Dia menghadapi kelaparan, kemiskinan, ketakutan, cedera atau kematian dengan teguh, menerimanya dan memperlihatkan sikap bersyukur kepada Tuhannya. Bahkan jika berbagai kesulitan menimpanya terus menerus dan seluruh hidupnya dijalani dalam kesulitan, dia tahu bahwa ketika menerima kesulitan dalam kehidupan ini (yang hanya berlangsung puluhan tahun) dengan kesabaran, maka kelak dia tidak akan mengalami kesulitan dalam kehidupan abadi — tidak sedetik pun. Perilakunya yang teguh, dengan izin Allah, akan memberikan kepadanya karunia yang indah: kesenangan dan rahmat Allah dan surga-Nya. Kabar gembira ini disampaikan dalam al-Qur’an:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.s. al-Baqarah: 155).
Ada hal terakhir yang harus diingat. Cara orang-orang beriman menghadapi kesulitan dengan kesabaran berbeda dari pemahaman orang jahiliah tentang kesabaran, yang sekadar pasrah. Namun, pemahaman orang beriman, bukan hanya “pasrah” tetapi menghadapi masalah dan berusaha menyelesaikan dan mengatasinya. Karena itu, orang beriman berusaha secara maksimal mencari solusi dengan menggunakan akal budinya dan semua sarana material dan fisiknya. Sambil melakukan itu semua, mereka berdoa kepada Allah agar memberi mereka kekuatan:
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Q.s. al-Baqarah: 286).
Sungguh, sikap dalam menghadapi kesulitan inilah — usaha sungguh-sungguh dan sikap menerima — yang menunjukkan gairah sejati. Kekuatan iman mereka kepada Allah dan akhirat memungkinkan orang beriman untuk berjuang keras menghadapi kesulitan-kesulitan tanpa pernah merasa lemah-hati.
Wallahu alam bi shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar